Skip to content
Artikel

UNTAIAN LOGIKA & PENALARAN HUKUM STATUS ANAK DALAM TALAK DAN PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN

(Pengakuan Anak- Pengesahan Anak- Itsbat Nikah dan
Penetapan Asal-Usul Anak)
Oleh Muhamad Tambusai Ad Dauly : Pengadilan Agama Talu

A. PEMANTIK

Perkara asal-usul anak selama ini dipandang sebagai perkara yang sederhana, namun ternyata masih banyak acuan yang belum ditelaah sehingga berpotensi menjadi sebuah kekeliruan karena kurangnya pemahaman atau kurangnya literasi. Kita mulai dengan berbincang dari titik jenis perkara asal-usul anak di Pengadilan Agama. Pertanyaanya adalah “apakah selama ini pengajuan perkara asal-usul anak termasuk perkara voluntair (Pdt.P) atau kontensius/gugatan (Pdt.G)?”. Kalau jawabannya hanya bisa diajukan secara voluntair maka tidak tepat. Ingat, bahwa kebiasaan belum tentu jadi ukuran kebenaran. Mari kita cek Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Tahun 2014. Bagian angka II teknis peradilan huruf B pedoman beracara pada PA/MSY angka 2.a.14 tentang asal-usul anak, dalam ketentuan

angka (6):

“Pengakuan anak dapat diajukan secara voluntair dan dapat diajukan secara kontensius kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana anak atau wali anak tersebut bertempat tinggal.

Jawabannya bisa dalam bentuk Pdt.G (kontensius) atau Pdt.P (voluntair). Tidak mutlak harus dalam bentuk permohonan saja tetapi dalam kasus-kasus tertentu maka harus diajukan 2
dalam bentuk gugatan. Mari kita lihat seperti apa contoh kasus yang diajukan dalam bentuk gugatan:

Angka (7)

“Permohonan pengakuan anak yang tidak di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain bersifat voluntair”

Angka (8)

“Permohonan pengakuan anak yang berada di bawah kekuasaan atau perwalian orang lain bersifat kontensius”

Jadi apa acuan menjadikan sebuah permohonan asal-usul anak menjadi voluntair atau kontensius? Secara khusus telah disebutkan sebagaimana angka (7) dan angka (8). Lalu secara umum apa standarnya? Kalau kita mau cermati tentang karakteristik perkara itu harus didaftarkan dalam bentuk kontensius yaitu ada tiga unsur, pertama kepentingan yang mengajukan perkara selanjutnya berkedudukan sebagai Penggugat/Pemohon, kedua kepentingan orang lain yang tersentuh kepentingan Penggugat/Pemohon selanjutnya berkedudukan sebagai Tergugat/Termohon, ketiga  adalah adanya hubungan hukum antara Penggugat/Pemohon, objek sengketa, dan Tergugat/Termohon.

Jadi wajar kalau angka (8) menghendaki perkara asalusul anak dalam bentuk gugatan. Lalu apakah sebatas itu saja?tentu tidak. Bahkan ada yang sangat jelas-jelas berkepentingan secara hukum dalam perkara asal-usul anak tetapi diajukan masih saja dalam bentuk voluntair. Kasus seperti apakah itu? Mari kita telaah kondisinya dengan mengacu pokok norma-norma berikut:

1. Kedudukan Anak Sah

Setiap anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah adalah anak sah yang terikat hubungan 3 keperdataan sempurna dengan ayah dan ibunya yang terikat perkawinan saat anak itu dilahirkan. (Vide: Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pasal dan isinya tidak diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 juncto Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam).

2. Perkawinan yang sah

Ketika ukuran menentukan anak yang sah adalah perkawinan yang sah maka apa itu perkawinan yang sah? Secara sederhana perkawinan yang sah dilakukan menurut agama dan kepercayaanya (vide: Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pasal dan isinya tidak diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 juncto Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam). Siapa yang berhak menyatakan sebuah perkawinan sah? Ukurannya hanya dua saja. Pertama tercatat secara sah menurut peraturan perundang-undangan, kedua adalah perkawinan di bawah tangan yang sudah disahkan melalui putusan/penetapan itsbat nikah.

3. Isbat Nikah

Pertanyaan berikutnya, “apakah semua peristiwa perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang sah?” Tentu tidak, karena perkara itsbat nikah ada yang ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima.

Kaidahnya adalah :

“Jika sebuah perkawinan dibawah tangan dapat dikabulkan permohonan itsbat nikah nya maka perkawinan itu sah. Sebaliknya, jika tidak dikabulkan karena terdapat cacat rukun, syarat dan halangan perkawinan maka perkawinan di bawah tangan tersebut adalah perkawinan yang fasid/bathil.”

Jadi lawan dari status perkawinan sah bukan zina tetapi perkawinan fasid/bathil. Sedangkan lawan dari status zina bukan menikah tetapi tidak berzina. Artinya, suami istri yang telah dinyatakan permohonan pengesahan perkawinan di bawah tangannya tidak dikabulkan maka sangat keliru dipahami bahwa mereka selama ini berzina. Zina adalah delik pidana yang di dalamnya ada unsur-unsur perzinahan. Hal ini sama sekali berbeda dengan perkawinan fasid/bathil bahkan persetubuhan syubhat.

4. Perkawinan Fasid/Bathil

Acapkali istilah ini kurang familiar karena tidak muncul dalam peraturan perundang-undangan. Dalam istilah yang lazim dalam aturan hukum di Indonesia hanya digunakan perkawinan sah saja untuk menentukan akibat hukum. Padahal dalam Islam kedudukan perkawinan fasid/bathil sudah diterangkan panjang kali lebar. Kerugiannya adalah kita berpotensi masuk dalam pemahaman yang keliru dalam status akibat perkawinan fasid/bathil terutama mengenai kedudukan anak yang lahir di dalamnya.

Perkawinan fasid/bathil tidak mempengaruhi kedudukan anak yang lahir di dalamnya. Hak-hak anak di dalamnya tidak boleh diamputasi dan harus sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Nasabnya pun terhubung sempurna dengan ayah atau suami si ibu yang melahirkannya dari perkawinan itu.

5. Putusnya Perkawinan Sah

Kita mulai masuk pada titik kritis dengan sebuah pertanyaan “kapan sebuah perkawinan sah putus dan berakhir?”

Kalau kajiannya hanya sebatas konteks fiqh saja, jelas karena talak. Baik itu tergolong talak lisan, tulisan, sharih, kinayah, dan lain-lain. Hal yang sulit rasa-rasanya disatukan pendapatnya ketika masuk dalam tataran konteks pemahaman dan penerapan di Indonesia adalah talak yang dijatuhkan suami tidak melalui mekanisme putusan Pengadilan Agama.

Meminjam istilah dualisme yang sampai saat ini digaungkan mengenai status talak di bawah tangan dan talak di depan persidangan, muncul asumsi-asumsi yang sering didengar yaitu “sah menurut agama” dan “belum resmi menurut negara”. Jadi seakan-akan hukum agama dan hukum negara dalam perkara status talak masih dikotomi.

Jika menggunakan perspektif tersebut maka seakan-akan putusan hakim-hakim pengadilan agama hanya sekedar administrasi legalisasi perceraian sehingga bisa terbit akta cerai. Dengan tetap menghormati pendapat-pendapat yang hidup di masyarakat maka pemahaman keabsahan talak di luar pengadilan jika dibicarakan di luar pengadilan dan di luar konteks hukum positif ya sah-sah saja untuk masing-masing meyakininya.

Namun….,

Jika acuan talak sah di bawah tangan itu digunakan oleh hakim di Pengadilan Agama maka ada beberapa konsekuensi-konsekuensi pemikiran sebagai berikut:

  1. Tantangan Tafsiran Pada Kejelasan Aturan Cerai

    Hakim tentunya harus mempertanggungjawabkan seluruh hati, pikiran dan pertimbangan dalam putusannya sesuai keyakinan dan ilmu hukum yang dikuasai. Dalam konteks putusan, maka dasar-dasar hakim memutus perkara mengacu pada norma-norma yang sudah ada demi menjaga cita hukum, kesepakatan hukum dan tujuan hukum yang sudah ada dalam norma tersebut. Adapun hakim tidak terikat dan boleh contra legem terhadap suatu aturan yang sudah jelas apabila cukup alasan (silakan baca mengenai syarat-syarat contra legem pada referensi lain) demi tujuan keadilan dalam perkara yang sangat kasuistis.

    Aturan Perceraian Yang Sangat Jelas

    Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”

    Pasal 115 Kompilasi HUKUM ISLAM

    “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”

    Pasal 117 Kompilasi HUKUM ISLAM

    “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131”

    Pasal 119 ayat 2.c Kompilasi HUKUM ISLAM

    “Talak Ba’in Shughraa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

    Pasal 123 Kompilasi HUKUM ISLAM

    “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan”.

    Dari beberapa aturan tersebut telah sangat jelas bahwa secara eksplisit dan terang mengenai perceraian baik talak yang dijatuhkan suami maupun yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama “terjadi terhitung” pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

    Artinya, tidak ada lagi ruang untuk mengatakan bahwa “peraturan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menegaskan sah atau tidak sahnya cerai di luar pengadilan/talak bawah tangan”. Hal ini jelas dikunci dengan memahami “terjadi terhitung”. Sebuah peristiwa hukum akan memiliki status hukum “sah/tidaksah/fasid/bathil” didahului dengan terjadinya dulu peristiwa hukum itu kemudian baru setelah ada status hukumnya maka memunculkan akibat hukum.

    Kronologinya adalah “peristiwa hukum-status hukum-akibat hukum”. Bagaimana kita mau menafsirkan bahwa Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak tegas menyatakan talak sah atau tidak sah di ucapkan di luar pengadilan? Sedangkan aturan-aturan tersebut tanpa perlu menyebutkan hal itu sudah menerangkan secara jelas yaitu “terjadinya dan terhitungnya saja harus di pengadilan”.

    Sungguh tidak mungkin kita pahami bahwa ketiadaan ketegasan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang talak keabsahan talak di luar pengadilan dalam kedua aturan tersebut berarti masih memunculkan peluang dipahami masih mengakomodir talak di bawah tangan. Peristiwanya saja harus di pengadilan, arti peristiwanya yaitu penjatuhan talaknya. Tidak mungkin kita pahami ada status hukumnya dulu baru muncul peristiwa hukumnya, tentu hal ini bertentangan dengan akal sehat serta logika hukum itu sendiri. Bagaimana bisa sebuah rasa kenyang ada sebelum ada peristiwa makan itu sebelumnya?

    Meskipun aturan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan “talak diluar pengadilan tidak sah” namun dengan disebutkan beberapa Pasal di atas sudah menjadi hal yang sangat jelas mengenai memang tidak sahnya dan tidak diakui talak di luar pengadilan dalam perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KHI.

    Apakah perlu ayat dalam al-Qur’an menjelaskan keharaman memakan besi bagi manusia sehingga jika tidak ada ayat yang secara eksplisit menerangkan larangan memakan besi maka artinya memakan besi menjadi halal? Hal ini juga logika yang sepadan untuk memahami bahwa hal serupa dalam konteks talak di bawah tangan/ talak di luar persidangan menjadi tidak diakui dan tidak sah dalam perpsektif Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

  2. Padanan Nikah dan Talak Di Bawah Tangan Tidak Sama

    Argumentasi berikutnya yang biasa muncul adalah “apabila ada nikah siri/nikah di bawah tangan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka tentunya talak di bawah tangan juga sah”. Mari mengupas logika ini. Pertama, logika ini mengacu pada qiyas atau analogi antara nikah di bawah tangan dengan cerai/talak di bawah tangan. Kedua, acuannya menggunakan aturan perundang-undangan. Selanjutnya mari kita periksa argumentasi tersebut :

    1. Defisini nikah sah ada sedangkan talak sah tidak ada

      Kegagalan pertama analogi ini adalah bahwa secara definisi saja tidak bisa disamakan antara definisi nikah sah yang jelas-jelas disebutkan oleh Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yaitu: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal  2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.

      Harusnya talak juga disebutkan serupa apabila ingin disamakan hukumnya dengan nikah tersebut. Di Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.

    2. Pengesahan nikah ada sedangkan pengesahan talak tidak ada

      Kegagalan kedua analogi ini adalah bahwa karena pernikahan dapat terjadi atau memungkinkan sah sebelum pencatatan dilakukan maka terdapat perkawinan/pernikahan yang belum memiliki status hukum pencatatan perkawinan sehingga dimungkinkan adanya kewenangan pengesahan perkawinan (itsbat nikah) di Pengadilan Agama. Sedangkan untuk talak di bawah tangan tidak diakui peristiwanya karena harus terjadi di pengadilan maka tidak ada pengesahan talak atau itsbat talak.

  3. Konsistensi Pendapat Hakim Pada Pemeriksaan Perkara

    Apabila dalam pemeriksaan perkara asal-usul anak digunakan indikator sah/tidak sahnya talak di bawah tangan atau memandang sah talak di luar pengadilan maka pendapat tersebut harus konsisten diyakini dalam perkara lain. Misalnya dalam perkara cerai talak, ketika Pemohon dan Termohon telah berpisah rumah karena diakui terjadi talak di luar pengadilan oleh keduanya kemudian perpisahan rumah itu terjadi lewat hitungan masa iddah yang diyakini sebagai “terjadinya talak bawah tangan” sehingga hakim meyakini itu sah talaknya maka petitum untuk memberi izin menjatuhkan talak satu raj’i berpotensi dipertimbangkan untuk tidak dapat diterima.

    Potensi tersebut muncul kalau pendapat tersebut konsisten dengan keyakinan tentang keabsahan talak di luar persidangan. Putusan dan pertimbangan hakim dibuat atas dasar keyakinannya dalam memahami sinkronisasi hukum ilahi dan norma hukum positif, artinya tidak boleh seorang hakim memutus dengan pertimbangan yang dia sendiri tidak meyakininya atau bertentangan dengan keyakinan pemahamannya. Jika memang diyakini oleh Pemohon dan Termohon serta pertimbangan talak di bawah tangan yang diakomodir dalam pendapat hakim tersebut maka sesungguhnya tidak perlu ada talak lagi yang dijatuhkan di Pengadilan. Konsekuensi analogi jika disamakan antara sah perkawinan di bawah tangan dengan talak di bawah tangan maka seharusnya pertimbangan tersebut berujung pada menyatakah sah putusnya perkawinan Pemohon dan Termohon pada tanggal……tahun….. sebagaimana diktum pengesahan perkawinan.

    Hal berikutnya adalah mengenai tuntutan akibat iddah. Apabila menggunakan indikator yang sama dengan asal-usul anak yaitu menggunakan pertimbangan telah terjadinya talak di bawah tangan maka seharusnya tidak ada lagi kesempatan Termohon menuntut iddah karena jika dihitung terjadi talak di bawah tangan maka masa iddah nya telah habis sehingga hak iddahnya tidak diperlukan lagi. Kedua hal tersebut berpotensi selalu memunculkan dissenting opinion apabila konsisten dipertimbangkan mengenai terjadinya talak di bawah tangan.

6. Memahami Aturan Talak sebagai Hukum Kondisional

Hal yang selalu jadi miskonsepsi antara pemahaman keabsahan talak di luar pengadilan dengan keabsahan hitungan talak di pengadilan adalah soal “hukum asal dan hukum kondisional”.

Selama ini acuan pemikiran tentang status talak seakan-akan berada pada level yang sama yaitu pada hukum asal. Akibatnya aturan mengenai talak harus jatuh di persidangan dipahami beragam. Ada yang memahami sebagai hanya sebatas cerai resmi menurut negara. Ada yang memahami sebagai cerai secara administrasi agar tercatat oleh negara. Hal ini memunculkan dikotomi atau dualisme paham tentang sah atau tidak cerainya seseorang.

Dalam Islam, sesungguhnya terdapat pergeseran hukum yaitu tidak selamanya hukum itu dipahami statusnya dalam satu hukum yang tidak bergerak. Misalkan memakan daging babi atau mengkonsumsi khamr yang statusnya tidak selalu haram meskipun hukum asalnya memang haram. Pada kondisi-kondisi tertentu memakan babi atau meminum khamr dapat berubah ke hukum lain selain haram. Begitupun misal makan daging kambing pada hukum asal adalah mubah tetapi bisa menjadi haram dalam kondisi tertentu (hukum kondisional).

Tidak hanya soal status hukum, bahkan metode syariat tertentu bisa berganti pada metode lain saat ada status kondisional misalkan berwudhu menjadi tayamum. Hal inilah mungkin secara bijak kita bisa pahami tentang pergeseran talak di bawah tangan yang semula jatuh tanpa putusan pengadilan (hukum asal) menjadi talak harus di persidangan (hukum kondisional). Adanya banyak kemudharatan yang muncul dari talak-talak di bawah tangan tanpa pengawasan dan penertiban hukum membuat status dan perlindungan kemanusiaan khususnya perempuan dan anak menjadi terciderai.

Tidak bijak juga kalau kita masukkan paham bahwa sah menurut agama atau sah menurut negara mengenai talak di bawah tangan. Hal ini berarti kita tidak menghormati ijtihad kolektif kebangsaan para alim ulama dalam Kompilasi Hukum Islam. Jelas judulnya saja hukum Islam artinya pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam adalah aturan Islam itu sendiri hasil ijtihad para alim ulama saat itu dalam skala yang luar biasa besar dan berkualitas.

Dengan status talak sebagai hukum kondisional produk alim ulama yang disahkan melalui legislasi kedaulatan ulil amri maka talak sah jatuh di persidangan adalah hukum kondisional yang harus dipegangi sebagai pedoman. Tentu sebagai sebuah hukum kondisional maka selama hukum kondisional ini berlaku maka hukum asal terhenti sementara penerapannya sampai aturan hukum kondisional itu diubah atau dihilangkan. Dalam sisi politik hukum Islam, adanya talak yang jatuh di Pengadilan Agama juga memperkuat eksistensi hukum Islam itu sendiri yang berulang kali pasang surut serta mengalami hambatan dan tantangan di Indonesia baik secara materiilnya maupun dari sisi sejarah Pengadilan Agama itu sendiri.

7. Mendudukkan Beberapa Istilah Penetapan Asal-Usul Anak, Pengakuan Anak (P.1) dan Pengakuan Anak (P.2), serta Pengesahan Anak.

Ada beberapa istilah dalam perkara nasab anak yang mengacu pada beberapa aturan namun kadang rancu kalau tidak dipahami secara benar, sebagai berikut :

  1. Penetapan Asal-Usul Anak

    Istilah ini muncul sebagai salah satu kewenangan Pengadilan Agama yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20 pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yaitu “Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”.

    Kewenangan Pengadilan Agama tersebut muncul selaras dengan kehendak dan kepentingan pembuktian asal-usul anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 55 ayat (2) yang memberikan kewenangan pada Pengadilan untuk menetapkan asal-usul seorang anak apabila akte kelahiran anak tersebut tidak ada.

    Secara teknis kemudian dijelaskan perkara asal-usul anak ini dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II. Dalam aturan di Buku II tersebut, asal-usul anak terbagi pada dua pokok pembahasan yaitu pengingkaran anak sah dan pengakuan anak (istilhaq). Pengingkaran anak sah artinya menegasikan/menghilangkan status anak sah dari seorang suami/pria yang terikat perkawinan dengan ibu/wanita yang melahirkannya. Sedangkan Pengakuan anak dalam ketentuan buku II tersebut adalah merujuk pada salah satu metode menasabkan anak dalam fiqh yang diterjemahkan kepada bahasa Indonesia menjadi pengakuan anak atau mengakui seorang anak adalah anaknya.

    Menurut buku II tersebut output dari pengingkaran anak/penyangkalan anak apabila dikabulkan adalah amar “menyatakan anak………adalah anak tidak sah dari Penggugat”. Sedangkan amar pengakuan anak berujung pada tersambungnya nasab seorang pria kepada anak yang diakuinya sebagai anak sah dengan amar “menyatakan anak bernama…..adalah anak sah dari Pemohon…”.

    Kesimpulannya, buku II tersebut menggolongkan perkara asal-usul anak pada dua hal yaitu menghilangkan nasab anak sah dari ayahnya atau menasabkan anak menjadi anak sah pada ayah yang mengakuinya.

  2. Pengakuan Anak (P.1) dan Pengakuan Anak (P.2)

    Istilah ini sama secara struktur frasa kalimat tetapi berbeda dalam konteks letaknya dalam aturan hukum positif. Untuk membedakan maka dalam pembahasan ini diberikan kode Pengakuan anak (P.1) dan Pengakuan anak (P.2).

    Pengakuan anak (P.1):

    Istilah P.1 ini merujuk pada sebuah metode menasabkan seorang anak yang dilakukan pria dalam konteks hukum Islam yaitu dengan istilhaq. Dimaknai juga sebagai salah satu upaya membuat seorang anak menjadi terikat statusnya dengan pria yang mengakuinya dalam perkara permohonan asal-usul anak sehingga dengan diakui oleh pria itu maka si pria memohon kepada Pengadilan Agama untuk menetapkan anak tersebut menjadi anak sahnya. (baca aturan buku II sebelumnya tentang asal-usul anak).

    Konsep P.1 ini apabila dihubungkan dengan status anak sah dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam akan bermasalah apabila ternyata pria tersebut tidak terikat perkawinan yang sah dengan ibu/wanita yang melahirkannya. Ilustrasi dalam dua kasus :

    Kasus Pertama

    Seorang laki-laki sebut saja A menikahi B seorang wanita di bawah tangan. Kemudian A dan B mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Hasil permohonan tersebut dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima karena perkawinan di bawah tangan A dan B bermasalah, adanya cacat rukun atau cacat syarat seperti wali tidak sah, atau adanya halangan perkawinan yaitu B menikah dengan A sebelum bercerai di Pengadilan dengan suami B sebelumnya.

    Dalam posisi seperti ini maka A dan B jelas tidak menikah secara sah. Jangan dibalik-balik logikanya dengan menyatakan sah menurut agama tidak sah menurut negara karena disebut “sah” ya cuma ada 1 (satu) status, tidak mungkin ada standar ganda. Kadang kita kebingungan karena kurang memahami referensi sesuatu. Padahal kita memiliki istilah lain terhadap perkawinan seperti itu menurut kajian Islam yaitu “nikah yang fasid”. Jika itsbatnya ditolak atau di NO maka tidak sah nikahnya, kalau sah ya seharusnya dikabulkan bukan di NO atau ditolak. Perkawinan yang ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima karena adanya cacat rukun, syarat dan halangan perkawinan tergolong perkawinan fasid/bathil bukan perkawinan yang sah.

    Konsekuensinya, apabila A ingin menjadikan anak yang lahir dalam perkawinan di bawah tangannya dengan B maka hal tersebut tertolak sementara sampai A dan B menikah secara sah. Hal ini karena dalam aturan perundang-undangan tidak ada disebut anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan secara agama namun lahir dari dalam atau akibat perkawinan yang sah. Jika merujuk pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan mengenai perkawinan yang sah adalah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya bukan otomatis sebuah perkawinan itu dipahami sah begitu saja ketika sudah dilakukan menurut agama dan kepercayaanya. Hal ini disebabkan bisa saja masyarakat salah dalam memahami rukun, syarat dan halangan perkawinan secara agama dan kepercayaannya itu, makanya disediakan lembaga itsbat nikah untuk “MENGUJI” keabsahan pernikahan di bawah tangan tersebut apakah dapat disahkan atau tidak. Kembali ke rumus jika hakim berkeyakinan nikahnya sah maka kabulkan, sebaliknya jika hakim menyatakan nikahnya fasid/bathil maka tolak atau nyatakan tidak dapat diterima.

    Kasus Kedua

    Dalam kasus kedua ini, seorang laki-laki tidak menikahi seorang wanita namun secara biologis lahir anak, kemudian laki-laki tersebut  mengajukan permohonan asal-usul anak ke Pengadilan Agama. Kasus kedua ini identik dengan munculnya seorang anak akibat hubungan zina. Ada dua kemungkinan yaitu:

    Laki-Laki dan Perempuan Tidak Terikat Perkawinan

    Dalam kasus anak zina yang lahir ketika posisi ayah dan ibunya masih lajang, sama-sama belum menikah atau ibunya tersebut tidak terikat perkawinan dengan laki-laki lain maka terdapat dua pendapat dalam literasi fiqh:

    1. Pendapat Mayoritas

    Tidak boleh dinasabkan/dinyatakah sebagai anak sah dari laki-laki tersebut.

    1. Pendapat Minoritas

    Dapat dinasabkan/dinyatakan sebagai anak sah dari laki-laki tersebut.

    Meskipun secara fiqh, terdapat peluang menasabkan anak tersebut namun secara hukum positif terhalang untuk dijadikan anak sah sampai keduanya menikah sah terlebih dahulu.

    Laki-Laki dan Perempuan Terikat Perkawinan

    Dalam kasus kedua ini, seorang perempuan yang masih terikat perkawinan dengan suaminya, belum bercerai kemudian berhubungan badan dengan laki-laki lain. Kemudian lahir anak yang secara biologis adalah anak dari perzinahannya dengan laki-laki tersebut, namun secara hukum terikat perkawinan sebagai ayah yang sah dengan suami sahnya. Dalam kasus kedua ini, anak tersebut masih terikat sebagai anak sah dengan ayahnya yaitu suami sah perempuan/ibu yang melahirkannya. Sampai si suami sah tersebut mengingkari ke Pengadilan Agama yang jika dikabulkan maka amarnya adalah “menyatakan anak………adalah anak tidak sah dari Penggugat”.

    Dalam kasus kedua ini, jika ayah biologis tersebut memohonkan pengesahan anak melalui asal-usul anak ke Pengadilan Agama, meskipun nanti ayah biologis tersebut sudah menikahi ibunya yang sudah bercerai dari suami sebelumnya maka tetap tidak bisa dinasabkan karena jelas anak tersebut secara syariat adalah anak zina yang sepakat ulama tidak mungkin untuk dinasabkan. Hal ini krusial untuk dipahami, karena jangan sampai meloloskan dan mengabulkan perkara demikian karena tidak memahami batasan nasab mana yang terhalang disahkan. Perkara voluntair adalah perkara yang paling rawan, tidak ada kontrol dari pihak lawan karena diajukan secara sepihak. Artinya hakim berhadapan dengan dirinya sendiri yang memungkinkan keliru memahami hukum akibat ketidakhati-hatian memahami aturan nasab. Konteks perkara bukan hanya tunggakan administrasi beban kerja, namun setiap Putusan/Penetapan dipertanggungjawabkan secara syariat kepada Allah SWT karena hakim adalah profesi yang memegang kedaulatan penerapan hukum syariat bukan semata-mata  perpanjangan tangan negara mengurus administrasi kepentingan masyarakat.

    Pengakuan anak (P.2):

    Istilah P.2 ini memiliki substansi materiil yang sama dengan P.1 yaitu sama-sama sebagai bentuk tindakan mengakui anak, hanya saja bentuk P.2 ini tidak melahirkan kedudukan status anak sah antara pria yang mengakui dengan anak tersebut. Pada P.1 pengakuan anak dimaknai sebagai usaha menasabkan anak menjadi anak sah dalam perkara asal-usul anak. Sedangkan P.2 sudah sedari awal bertujuan tidak menjadikan anak tersebut menjadi anak sah karena ada halangan tertentu baik sifatnya permanen atau temporer. Pengakuan anak (P.2) berstatus anak biologis dari ayah/pria yang mengakuinya dan berdimensi hak pencatatan kependudukan secara administrasi.

    Berikut beberapa aturan Pengakuan Anak (P.2) dalam peraturan perundang-undangan:

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 49 ayat (1) dalam Penjelasannya:

    Yang dimaksud dengan “pengakuan anak” merupakan pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut.

    Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Pasal 49:

    Pencatatan pengakuan anak dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan:

    1. surat pernyataan pengakuan anak dari ayah biologis yang disetujui oleh ibu kandung atau penetapan pengadilan mengenai pengakuan anak jika ibu kandung Orang Asing;
    2. surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
    3. kutipan akta kelahiran anak;
    4. KK ayah atau ibu;
    5. KTP-el; atau
    6. Dokumen Perjalanan bagi ibu kandung Orang Asing.

     Pasal 51 ayat (1)

    Pencatatan pengakuan anak Penduduk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut hukum agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2019 Pasal 70:

    • Pencatatan pengakuan anak terdiri dari:
    1. pencatatan pengakuan anak di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
    2. pencatatan pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    (2) Selain pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat pencatatan pengakuan anak lainnya, yaitu:

                           a.pencatatan pengakuan anak bagi WNI Bukan Penduduk di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

    1. pencatatan pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bagi WNI Bukan Penduduk di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

     Jadi apa pengakuan anak (P.2) itu?

    Secara sederhana pengakuan anak (P.2) bukan bentuk mengesahkan anak atau bukan ingin mendudukkan seorang anak menjadi anak sah. Hal ini karena benturan definisi anak sah di Indonesia yaitu harus lahir dalam atau akibat orang tuanya menikah secara sah. Sah yang dimaksud dalam aturan memiliki bukti berupa perkawinan sah tercatat atau hasil penetapan pengesahan perkawinan (itsbat) nikah yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama.

    Sedangkan munculnya pengakuan anak (P.2) karena kedua orang tuanya tidak memiliki bukti perkawinan yang sah dan tercatat atau tidak dapat diitsbatkan perkawinannya kemudian keduanya tidak juga terikat perkawinan yang sah dengan menikah ulang.

    Dalam hal ini status anak dengan ayahnya adalah sebagai anak biologis. Selama sebuah perkawinan di bawah tangan tidak diitsbatkan atau tidak disahkan melalui perkawinan di bawah tangan atau tidak menikah baru/ulang maka anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan tersebut hanya bisa terhubung tercatat melalui pengakuan anak (P.2) sebagai anak biologis.

    Kerancuan memahami anak biologis

    Lalu apa hak anak-anak biologis? Apa itu anak biologis?

    Istilah biologis yang paling dekat muncul dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan menyebutkan istilah bapak biologis sehingga logikanya ada anak biologis. Dalam amar putusan disebutkan:

    Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”

    Kemudian dalam Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya

     Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya

     Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

     Dalam RAKERNAS (Rapat Kerja Nasional) Tahun 2012 di Manado Bidang Hukum

    Bidang Hukum Materiil

    Anak yang dilahirkan dari hasil zina berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya

    Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh Pejabat yang berwenang berhak untuk memperoleh nafkah dan wasiat wajibah dari ayahnya tersebut.

    Dalam RAKOR (Rapat Koordinasi) Tahun 2019 di Jakarta Bidang Hukum Materiil

    1. Interpretasi “hubungan perdata” dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 yang tidak melanggar norma agama adalah hubungan perdata terbatas yaitu terbatas pada: a) mencukupi kebutuhan hidup anak (nafkah, biaya pendidikan dan kesehatan, tempat tinggal), b) memberikan harta setelah ayah biologis meninggal dunia melalui wasiat wajibah. Tidak termasuk dalam masalah nasab dan kewarisan menurut hukum Islam (vide Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya)
    2. Pengadilan Agama dapat menetapkan bahwa seorang anak adalah anak biologis sekaligus menetapkan kewajiban orang tua biologis terhadap anak biologisnya pada perkara asal-usul anak.

     Dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2023 Rumusan Kamar Agama Hukum Kewarisan

    Dalam rangka melindungi kepentingan terbaik bagi anak maka anak kandung hasil dari perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam tetapi tidak dicatatkan dapat ditetapkan sebagai penerima wasiat wajibah dari pewaris.

    Pertanyaan:

    Setelah memahami aturan-aturan tentang pengakuan anak (P.2), perkawinan di bawah tangan (menurut agama) yang tidak tercatat, ayah biologis dan anak biologis, maka apa sebetulnya anak biologis itu?

    Diskusi

    Jika dicermati baik-baik telah terjadi kesamaan penyebutan antara anak zina dengan anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan tidak tercatat yaitu sama-sama disebut dikelompokkan sebagai “ANAK BIOLOGIS”

    Jadi selama seorang anak yang memiliki ayah dan ibu tidak terikat perkawinan yang sah dan tercatat maka anak tersebut terhalang dari kedudukan anak sah dan hanya sebatas sebagai anak biologis. Dengan demikian apabila seorang suami istri melakukan perkawinan di bawah tangan kemudian tidak mengitsbatkan perkawinannya maka keduanya berhak melakukan pencatatan pengakuan anak (P.2). Sedangkan jika keduanya telah mencoba mengajukan permohonan itsbat nikah namun ternyata dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima karena perkawinan tersebut fasid/bathil maka anak tersebut menjadi anak biologis sampai keduanya melakukan pernikahan ulang dan mengajukan pengesahan anak (akan dibahas kemudian).

    Adapun yang krusial adalah diskusi mengenai hak-hak anak dari perkawinan fasid/bathil. Apabila merujuk pada kajian fiqh mayoritas mengenai nasab anak dari perkawinan fasid/bathil adalah sama dengan anak sah mereka berhak mendapatkan waris juga bukan wasiat wajibah. Berikutnya adalah konteks wasiat wajibah diberikan karena ada halangan kewarisan seperti anak zina, sedangkan anak nikah fasid/bathil tidak terhalang mewarisi karena pencatatan perkawinan bersifat administratif.

    Lain halnya dengan masalah hak istri kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang dinikahi tanpa tercatat atau poligami liar tanpa itikad baik memang menghilangkan hak-hak zaujiyatnya termasuk menghilangkan hak waris sebagaimana dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2019 Rumusan Kamar Agama C.1.f. Ini karena mereka sebagai pelaku pernikahan adalah orang-orang dewasa yang sudah taklif dianggap mengerti hukum sehingga pelanggaran terhadap perkawinan menyebabkan mereka dapat kehilangan hak-haknya.

    Namun, dalam kasus anak-anak dalam perkawinan kemudian tidak tercatat perkawinan ayah ibunya pada waktu yang lampau, kemudian ayah ibunya meninggal dan mereka mengajukan pembagian warisan apakah mereka mendapatkan wasiat wajibah? Atau hak waris? Hal ini perlu sama-sama dikaji ulang.

    Hal fatal berikutnya, jika dianggap perkawinan tidak tercatat menghilangkan nasab sebagaimana nasab anak zina maka anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak tercatat apakah mau dianggap sebagai saudara kandung atau sebagai saudara seibu? Jelas ini akan berdampak besar pada pola hijab mahjubnya. Persoalan memahami nasab ini sangat krusial untuk dikaji dan didiskusikan karena berdampak pada hak-hak lainnya. Salah memahami kedudukan anak maka berpotensi mengamputasi hak-haknya.

    Pengadilan Agama dapat menetapkan bahwa seorang anak adalah anak biologis sekaligus menetapkan kewajiban orang tua biologis terhadap anak biologisnya pada perkara asal-usul anak.

  3. Pengesahan Anak

    Istilah pengesahan anak tentu bermakna menjadikan status seorang anak menjadi anak sah. Status keabsahan seorang anak yang tadinya belum mendapatkan title anak sah kemudian ingin ditetapkan sebagai anak sah.  Anak sah selama ini hanya dimaknai sebagai anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.

    Dalam perkawinan yang sah artinya ada perkawinan yang statusnya sah terlebih dahulu kemudian lahir anak. Anak yang lahir dengan tanggal kelahiran setelah tanggal pernikahan sah maka dianggap lahir di dalam perkawinan yang sah. Meskipun hal ini menjadi problematik apabila dikaitkan dengan batas minimal kelahiran dalam kajian pendapat mayoritas ahli fiqh yang mempersyaratkan minimal 6 (enam) bulan, tetapi Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak mensyaratkan demikian.

    Kondisi demikian menjadikan salah satu motivasi orang tua yang anaknya terlanjur hamil di luar nikah untuk mengajukan permohonan dispensasi kawin dengan alasan anaknya sudah hamil. Status anak sah tidak otomatis permanen apabila ternyata suami mengajukan pengingkaran/penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Hal ini sudah disebutkan penjelasannya terlebih dahulu pada bagian sebelumnya. Perkara yang demikian pada Penjelasan Pasal 49 huruf a angka 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perkara tentang putusan sah atau tidaknya seorang anak yang dalam buku II dipahami sebagai bagian dari asal-usul anak. Padahal dua hal tersebut adalah hal yang berbeda jika merujuk pada perbedaan penomoran dalam penjelasan pasal tersebut.

    Kembali pada makna anak sah, sebagai anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kualifikasi pemahaman anak sah yang selalu di dominasi dengan patokan perkawinan harus ada terlebih dahulu sebelum anak itu lahir menjadikan bias penalaran hukum. Hal ini disebabkan anak sah menurut hukum positif di Indonesia adalah anak yang harus lahir dalam perkawinan yang sah.

    Apabila dalam suatu dalil permohonan penetapan asal-usul anak baik yang berdiri sendiri maupun terkumulasi dengan permohonan itsbat nikah, kemudian didapatkan fakta bahwa perkawinan di bawah tangannya tidak dapat diitsbatkan karena adanya cacat rukun, syarat atau halangan perkawinan sehingga menjadikan anak tersebut lahir dari perkawinan yang fasid, maka tidak perlu dipaksa memahami perkawinan fasid tersebut sebagai perkawinan yang sah agar anak tersebut bisa dinasabkan menjadi anak sah. Kalau sudah menilai sebuah perkawinan tidak bisa disahkan maka tidak perlu lagi menjadikan perkawinan itu sebagai “tempat bergantungnya” dalil pengesahan anak.

    Tidak bisa diistbatkannya sebuah perkawinan di bawah tangan karena fasid/bathil tidak berarti anak yang lahir dalam perkawinan tersebut lepas begitu saja sebagai anak biologis. Inilah perlu merujuk aturan-aturan lain dalam memaknai anak sah agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Kalau dalam kasus demikian tidak bisa menggantungkan pada perkawinan fasidnya untuk menjadikan anak sah lalu bagaimana?

    Tentu menggunakan kedudukan anak sah bukan sebagai anak yang lahir dalam perkawinan yang sah tetapi dipakai penalaran hukum dari sisi “akibat perkawinan yang sah”. Artinya, ketika laki-laki dan perempuan yang melalukan nikah fasid tersebut setelah lahir anak atau setelah ditolaknya permohonan itsbat nikahnya oleh Pengadilan Agama kemudian mereka menikah ulang secara sah dan tercatat, hal inilah disebut pengesahan anak sah akibat perkawinan yang sah atau akibat kedua orang tuanya telah menikah secara sah.

    Merujuk pada aturan mengenai pengesahan anak sebagai berikut:

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 50 ayat (1) dalam Penjelasannya:

    Yang dimaksud dengan “pengesahan anak” merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara.

    Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Pasal 50 ayat (1):

    Pencatatan pengesahan anak bagi Penduduk WNI di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan:

    1. kutipan akta kelahiran;
    2. kutipan akta perkawinan yang menerangkan terjadinya peristiwa perkawinan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjadi sebelum kelahiran anak;
    3. KK orang tua; dan
    4. KTP-e1.

    Supaya tidak melompat pembahasannya maka perlu dicermati bentuk pertama pengesahan anak sesuai pasal di atas maka pengesahan anak tipe 1 ini adalah peristiwa pencatatan anak sah dimana itsbat nikah kedua orang tuanya dikabulkan sehingga tertulis dalam buku nikah tanggal pernikahan kedua orang tua terjadi sebelum anak itu lahir. Hal ini berarti perkawinan di bawah tangannya memang sah sehingga anak tersebut lahir sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah. Lihat lagi aturan yang selanjutnya:

    SEMA Nomor 07 Tahun 2012 bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI angka 14:

    Permohonan pengesahan anak dapat dikabulkan apabila nikah sirri orang tuanya telah diitsbatkan berdasarkan penetapan Pengadilan Agama.

    Aturan ini menegaskan bahwa pentingnya sebuah pernikahan sah untuk menjadi dasar menetapkan nasab anak sah. Namun, jangan disalahpahami bahwa anak sah tersebut harus ada sebelum perkawinan yang sah. Banyak sekali peristiwa nikah di bawah tangan yang ternyata tidak dapat diitsbat karena ada halangan perkawinan misalnya terbentur dengan aturan berikut:

    SEMA Nomor 07 Tahun 2012 bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI angka 13:

    Pada prinsipnya nikah sirri dapat diitsbatkan sepanjang tidak melanggar undang-undang.

    SEMA Nomor 03 Tahun 2018 bagian Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI angka III.A-8:

    Permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal-usul anak.

    Dalam banyak kasus muncul pengesahan anak tipe 2 yaitu ketika tanggal kelahiran anak berada sebelum perkawinan sah kedua orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya pemahaman hukum di masyarakat yang meyakini cerai di bawah tangan sah, Kemudian melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum bercerai di pengadilan sehingga dari perkawinan tersebut lahirlah anak. Setelah lahir anak, kemudian perempuan ini mengajukan gugatan cerai atau dijatuhkan ikrar talak dalam permohonan cerai talak. Setelah mendapatkan akta cerai kemudian perempuan ini mengajukan itsbat nikah dan ternyata ditolak atau tidak dapat diterima karena memiliki halangan perkawinan atau terhitung melakukan poligami (baca:poliandri). Kemudian perempuan ini menikah ulang secara sah tercatat dengan pasangan nikah sirinya. Lalu mengajukan perkara permohonan asal-usul anak.

    Dalam pengesahan anak tipe 2 ini yaitu tanggal perkawinan sah tercatat berada setelah kelahiran anak maka untuk menarik kedudukan anak sah dari perkawinan fasid di bawah tangan tersebut tentu bukan menyatakan sah perkawinan di bawah tangannya sehingga mengacu sebagai definisi anak dalam perkawinan yang sah. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa nikah di bawah tangannya adalah fasid.

    Hal yang perlu dijadikan landasan adalah pengesahan anak karena kedua ayah dan ibunya sudah menikah sah secara ulang sehingga masuk dalam katagori anak sah sebagai anak yang lahir dari akibat perkawinan yang sah/akibat orang tuanya telah menikah sah dan tercatat. Perhatikan aturan berikut:

    Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Pasal   52:

    Pasal 52 (1)

    Pencatatan pengesahan anak Penduduk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilahirkan sebelum orang tuanya melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.

    (2) Pencatatan atas pengesahan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat catatan pinggir pada register akta kelahiran maupun pada kutipan akta kelahiran dan/atau mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2019 Pasal 75 (1):

    Pencatatan pengesahan anak terdiri dari:

    1. pencatatan pengesahan anak bagi Penduduk WNI dan Orang Asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
    2. pencatatan pengesahan anak Penduduk di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilahirkan sebelum orangtuanya melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

    Kedua aturan tersebut seharusnya dipertimbangkan dalam penetapan asal-usul anak selama ini.

B. DISKUSI SOAL

Setelah penjabaran beberapa aturan di atas, maka kaji peristiwa berikut menggunakan logika dan penalaran hukum. Penyebutan nama secara acak hanya untuk mempermudah gambaran kasus, bukan peristiwa sebenarnya.

  1. Surya menikah sah dan resmi tercatat dengan Rembulan pada tanggal 01 Januari 2020;
  2. Surya dan Rembulan berselisih dan bertengkar sehingga Surya mengucapkan talak kepada Rembulan di depan keluarganya tanggal 1 Agustus 2020.
  3. Keduanya berpisah rumah, Rembulan dengan meyakini telah sah talak dari Surya dan telah habis masa iddah menurut hitungannya kemudian menikah di bawah tangan dengan Bintang tanggal 01 Januari 2021.
  4. Bintang dan Rembulan menjalani kehidupan rumah tangga kemudian dikaruniai anak bernama Bumi yang lahir pada tanggal 01 Januari 2022.
  5. Pada 01 Agustus 2022, perkawinan Surya dan Rembulan putus akibat permohonan cerai talak yang telah diikrarkan pada tanggal tersebut dengan talak 1 raj’i:
  6. Pada 01 Desember 2022, Bintang dan Rembulan mengajukan permohonan itsbat nikahmereka untuk mengesahkan perkawinan di bawah tangan yang terjadi pada 01 Januari 2021. Namun hasilnya dinyatakan tidak dapat diterima karena perkawinan di bawah tangan tersebut cacat terdapat halangan perkawinan yaitu Rembulan menikah dengan Bintang sebelum perkawinannya putus dengan Surya.
  7. Pada 01 Januari 2023, Bintang dan Rembulan menikah ulang sah dan tercatat. Kemudian mengajukan permohonan asal usul anak secara VOLUNTAIRuntuk mengesahkan anak bernama Bumi yang lahir pada tanggal 01 Januari 2022.

Pertanyaannya:

  1. Terhitung kapan perkawinan Surya dan Rembulan dimulai dan putus?
  2. Bagaimana status anak bernama Bumi mengacu pada tanggal kelahiran anak tersebut pada tanggal 01 Januari 2022 dikaitkan dengan putusnya perkawinan Surya dan Rembulan pada tanggal ikrar talak 01 Agustus 2022?
  3. Bagaimana status anak bernama Bumi mengacu pada tanggal kelahiran anak tersebut pada tanggal 01 Januari 2022 dikaitkan dengan perkawinan di bawah tangan Bintang dan Rembulan pada tanggal 01 Januari 2021?
  4. Bagaimana status perkawinan di bawah tangan Bintang dan Rembulan yang telah dinyatakan tidak dapat diterima dalam penetapan itsbat nikahnya?
  5. Bagaimana status anak bernama Bumi mengacu pada tanggal kelahiran anak tersebut pada tanggal 01 Januari 2022 dikaitkan dengan perkawinan sah dan tercatat Bintang dan Rembulan pada tanggal 01 Januari 2023?
  6. Apakah Bintang adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah atau sebagai anak akibat perkawinan yang sah?
  7. Apakah kasus tersebut sudah tepat jika diajukan secara voluntair?

Dari bagan di atas nampak jelas bahwa Bumi memiliki dua hubungan nasab keperdataan yaitu:

  1. Bumi sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan sah antara Surya dan Rembulan karena putusnya perkawinan keduanya terjadi setelah Bumi lahir;
  2. Bumi sebagai anak yang lahir dalam perkawinan yang fasid/bathil(hubungan nasab dalam Islam) antara Bintang dan Rembulan;

        Berdasarkan sifat pengajuan perkara, maka seidealnya perkara tersebut diajukan secara kontensius dengan beberapa logika hukum berikut:

  1. Terdapat kepentingan secara hukum antara Surya dengan kedudukan anak tersebut;
  2. Petitum asal-usul anak tidak mungkin langsung “menetapkan Bumi sebagai anak sah dari Bintang dan Rembulan”, karena jika ditetapkan secara voluntair maka dua hubungan keperdataan nasab akan muncul.
  3. Petitum pengesahan anak perlu dimunculkan adalah terlebih dahulu “Menetapkan anak bernama Bumi bukan anak sah dari Surya”, sehingga petitum berikutnya adalah “Menetapkan Bumi sebagai anak sah dari Bintang dan Rembulan”.

Jika argumentasinya bahwa tidak perlu diajukan secara kontensius karena dapat dibuktikan secara materiil dipersidangan, maka argumentasi tersebut harusnya berlaku pada perkara itsbat nikah. Kalau titik tumpunya hanya pada masalah dapat dibuktikan maka perkara itsbat nikah tidak mungkin ada berupa kontensius dengan mendudukkan ahli waris. Hal ini mengisyaratkan bahwa terdapat kepentingan orang lain dalam hubungan hukum itsbat nikah tersebut. Begitu juga dalam kasus asal-usul anak di atas.

C. REFLEKSI

Berdasarkan analisis kasus di atas ada beberapa hal yang dapat dijadikan diskusi selanjutnya yaitu sebagai berikut:

  1. Perkara penetapan asal-usul anak yang lahir sebelum perkawinan dengan suami terdahulu putus karena perceraian di Pengadilan maka diajukan secara kontensius dengan mendudukkan suami terdahulu tersebut sebagai Termohon/Tergugat;
  2. Perkara penetapan asal-usul anak tersebut harus memuat posita peristiwa perkawinan fasid, perceraian di Pengadilan serta tanggal peristiwa perkawinan sah tercatat Para Pemohon;
  3. Perkara penetapan asal-usul anak tersebut harus memuat petitum untuk :
    1. Menetapkan anak bernama………adalah bukan anak sah dari ………. (Termohon/Tergugat);
    2. Menetapkan anak bernama…….adalah anak sah dari ……….. dan ………. (Para Pemohon) sebagai akibat perkawinan yang sah Para Pemohon pada tanggal……….:
  4. Anak yang lahir sebagai anak dalam perkawinan fasid/bathil akibat perkawinan di bawah tangan yang tidak dapat disahkan atau perkawinan kedua orang tuanya belum tercatat memiliki hak keperdataan yang sama dengan kedudukan anak sah termasuk dalam hak waris;

D. POST TEST (Analisis Pengandaian Kasus)

B (seorang wanita) menikah resmi tercatat dengan A (seorang pria) Januari 2018. A dan B kemudian berselisih dan bertengkar lalu A mengucapkan talak lisan kepada B di depan keluarganya. A meninggalkan B sehingga keduanya berpisah rumah Januari 2019. Pada Januari 2020 B menikah dengan C di bawah tangan. B dan C dikaruniai 1 orang anak perempuan lahir Januari 2021. B dan C kemudian bertengkar dan berselisih akhirnya keduanya berpisah pada Januari 2022. Pada Januari 2023 B mengajukan gugatan cerai perkawinannya dengan A yang putus pada bulan Januari 2023 tersebut. Pada akta lahir anak perempuan B, tercatat nama ayah tersebut adalah A. Karena tidak sesuai dengan nasabnya, B mengajukan permohonan asal-usul anak untuk menasabkan anak tersebut kepada C. Pertanyaan:

  1. Perkara tersebut tepat diajukan voluntair atau kontensius?
  2. Apabila diajukan secara kontensius, siapa saja yang ditarik menjadi pihak?
  3. Bagaimana diktum penetapan yang tepat apabila permohonan asal-usul anak tersebut dikabulkan?

E. PENUTUP

Demikian tulisan ini dibuat sebagai bahan kajian pemikiran dari sisi logika dan penalaran hukum. Terima kasih.

 

ARTIKEL DIATAS DAPAT DI DOWNLOAD DISINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *