PEMERIKSAAN SETEMPAT SEBAGAI PENGETAHUAN HAKIM
A. Pendahuluan
Pada Kata Pengantar bukunya yang berjudul “Mencari Keadilan: Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia”, Mukti Arto menyatakan bahwa peradilan, dalam konteks ini peradilan perdata, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, pada praktiknya tidak menyelesaikan sengketa, namun hanya memutus. Diantara sebabnya ialah:
Pertama, proses penyelesaian perkara biasanya berjalan terlalu formal dan kaku sehingga kurang fleksibel dan tidak menjangkau seluruh aspek sengketa (perkara). Kedua, proses peradilan berjalan lamban dan berbelit-belit, sehingga dinilai boros serta membuang-buang waktu dan biaya yang sangat merugikan pencari keadilan. Ketiga, dan kebenaran dan keadilan diukur dengan pendapat, keyakinan dan perasaan hakim secara sepihak sehingga para pihak tidak bisa memahami dan menerima putusan hakim yang secara subjektif berada di luar pendapat, keyakinan, dan perasaan mereka. Keempat, Hakim cenderung bersifat formal karena hanya memperhatikan aspek hukum yang berdasarkan doktrin atau teks hukum semata tanpa memperhatikan faktor kesadaran hukum para pihak[2]
Dalam mencapai keadilan, berbagai tahapan beracara mesti dilaksanakan. Mulai membuat gugatan, menghadiri persidangan, mengajukan alat bukti, sampai mengajukan permohonan eksekusi. Yang paling krusial tentu saja tahap pembuktian. Masing-masing pihak berusaha meyakinkan hakim bahwa dirinyalah yang benar dan harus dimenangkan.
Hukum acara telah mengatur perihal berbagai alat bukti, batas minimal serta kekuatan pembuktiannya. Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan 1866 KUHPerdata menyebutkan rincian alat bukti dalam hukum acara perdata yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.[3]
Disamping lima alat bukti tersebut terdapat pula dua lembaga lainnya. Pemeriksaan Setempat (descente/ plaatselijke opneming en onderzoek, site visit investigation) dan Keterangan Ahli (expertise).[4] Walaupun berdasarkan Pasal 164 HIR, 284 R.Bg. atau Pasal 1866 KUHPerdata, dua lembaga tersebut tidak termasuk alat bukti, namun berdasarkan berbagai argumen yang akan dikemukakan kemudian, ternyata keduanya memiliki berbagai aspek yang signifikan. Dalam makalah ini dikhususkan pada lembaga Pemeriksaan Setempat.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, akan coba dirumuskan berbagai hal menarik seputar Pemeriksaan Setempat. Pertama, bagaimanakah kedudukan Pemeriksaan Setempat dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia? Kedua, apakah argumentasi hukum tentang kedudukan Pemeriksaan Setempat dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia? Ketiga, apa peran penting Pemeriksaan Setempat dalam mencapai peradilan yang menyelesaikan sengketa?
Untuk mencoba menjawab ketiga pertanyaan tersebut, insya allah akan dibahas dalam bentuk tulisan dengan judul “Pemeriksaan Setempat Sebagai Pengetahuan Hakim”, akta otentik produk dari pemeriksaan setempat yang merupakan hasil inderawi hakim, dengan berturut-turut akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan hukum positif pembuktian di Indonesia dan ruang lingkup Pemeriksaan Setempat, dan peran hakim dalam menerapkan acara Pemeriksaan Setempat untuk menyelesaikan sengketa.
B. Hukum Positif Pembuktian Bidang Perdata
Tiap-tiap orang yang mendakwakan haknya atas suatu barang haruslah membuktikan dakwaannya. Begitu pula pihak-pihak yang membantah hak orang lain harus pula membuktikan bantahannya. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg. menyatakan: “Barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak, atau mengajukan suatu peristiwa (feit) untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain haruslah membuktikan tentang adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Menurut Sudikno Mertokusumo membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam hukum acara bersifat yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan.[5] Sedangkan Soebekti menyatakan bahwa “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.[6]
Mukti Arto mendefinisikan pembuktian sebagai mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.[7] Alat bukti yang sah artinya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan hukum pembuktian yang berlaku artinya ada sistem peraturannya.
Pembuktian dalam bidang perdata mencari kebenaran formil, tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim. Alat bukti yang dihadirkan harus memenuhi syarat materil dan formil. Syarat mengenai siapa yang berwenang, dan bagaimana cara menggunakan wewenang itu.[8]
Pembuktian hanyalah diperlukan dalam suatu perkara di pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa mengenai hak perdata seseorang, maka pembuktian tersebut tidak perlu dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Pihak-pihak yang berperkaralah yang berkewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya. Pihak-pihak yang berperkara tidak perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya, sebab hakim menurut asas hukum acara perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dan hakimlah yang bertugas menerapkan hukum perdata (materil) terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya. Tugas hakim ialah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi perkara itu, benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum inilah harus terbukti dimuka hakim dan tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim.
Ketika agenda pembuktian berlangsung, kedua belah pihak harus membuktikan peristiwa atau hubungan hukum dari dalil-dalil yang disampaikannya. Namun tidak semua peristiwa atau hubungan hukum wajib dibuktikan. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan sidang pengadilan tidak perlu dibuktikan.[9] Misalnya hakim melihat dan mendengar sendiri di depan sidang pengadilan, seperti hadirnya pihak, pihak menyandang disabilitas, pengakuan, berikrar talak, menyerahkan hak-hak istri yang ditalak dan lain-lain.
C. Ruang Lingkup Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat (descente) adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.[10]
Pemeriksaan setempat ini adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim langsung ke lokasi atau tempat harta yang menjadi perkara oleh para pihak. Sering juga disebut pemeriksaan di tempat atau hakim (majelis) itu sendirilah yang pergi ketempat objek harta terperkara dibantu oleh Panitera atau Penitera Pengganti dan dalam hal ini hakim itu dapat melakukan pemeriksaan surat-surat, saksi dan hal-hal lain yang dianggap perlu. misalnya: batas-batas tanah, luasnya, letaknya, keadaannya yang didapat diatas tanah itu. Semua fakta yang didapati oleh hakim (majelis hakim) disaat sidang ditempat dilakukan, langsung menjadi pengetahuan hakim itu sendiri.
Menurut Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg., atau Pasal 1866 KUHPerdata, ada lima alat bukti dalam lingkup acara perdata. Selain lima alat bukti tersebut, terdapat pula hal lain sebagai pendukung, keterangan ahli (deskundigenbericht) dan pemeriksaan setempat (gerechtelijke plaattsopneming atau descente).[11]
Pemeriksaan Setempat diatur dalam Pasal 153 HIR, 180 RBG, 211 Rv, dan SEMA Nomor 7 Tahun 2001. Pasal 153 HIR, 180 R.Bg., berbunyi sebagai berikut:
- 1. Jika pandang perlu atau berguna, maka Ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris dari Majelis dengan dibantu Panitera untuk mengadakan peninjauan dan pemeriksaan setempat, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim;
- 2. Tentang pelaksanaan tugas serta hasilnya dicatat oleh Panitera tersebut dalam berita acara atau relaas yang akan ditandatangani olehnya dan para komisaris tersebut;
- (R.Bg)Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak di luar daerah hukum pengadilan itu, maka Ketua dapat minta kepada pemerintah setempat supaya melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekaslekasnya berita acara pemeriksaan itu”.[12]
Dalam praktik persidangan, elemen pendukung pelaksanaan Pemeriksaan Setempat sebagai wujud Pasal 153 HIR atau 180 RBg adalah Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memproses objek perkara, Panitera yang membuat berita acara tentang pelaksanaan pemeriksaan setempat dan hasilnya, para pihak berpekara termasuk pihak yang merupakan sepadan tanah tersebut, wali nagari atau yang mewakilinya tempat objek perkara yang akan dilakukan pemeriksaan setempat, Badan Pertanahan Nasional, dan aparat keamanan.[13]
Pemeriksaan Setempat adalah sidang resmi pengadilan, maka oleh karena itu Para pihak harus hadir ketika Pemeriksaan Setempat. Akan tetapi jika salah satu pihak tidak hadir tanpa alasan yang sah, Pemeriksaan Setempat tetap dapat dilangsungkan apabila sudah diberitahukan secara resmi kepadanya.
Dalam konsideran SEMA Nomor 7 Tahun 2001, disebutkan bahwa sehubungan dengan banyaknya laporan dari para Pencari Keadilan dan dari pengamatan Mahkamah Agung, bahwa perkara-perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat dieksekusi (non executable) karena objek perkara atas barang-barang tidak bergerak tidak sesuai dengan diktum putusan, baik mengenai letak, luas, batas-batas maupun situasi pada saat dieksekusi akan dilaksanakan, sebelumnya tidak pernah dilakukan Pemeriksaan Setempat atas obyek perkara, maka Mahkamah Agung meminta hakim yang memeriksa perkara untuk mengadakan Pemeriksaan Setempat atas objek perkara yang perlu dilakukan oleh Majelis Hakim dengan dibantu oleh Panitera Pengganti baik atas inisiatif Hakim karena merasa perlu mendapatkan penjelasan/ keterangan yang lebih rinci atas obyek perkara maupun karena diajukan ekspesi atau atas permintaan salah satu pihak yang berperkara. Apabila dipandang perlu dan atas persetujuan para pihak yang berperkara dapat pula dilakukan pengukuran dan pembuatan gambar situasi tanah atau obyek perkara yang dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Setempat dengan biaya yang
disepakati oleh kedua belah pihak, apakah akan ditanggung oleh Penggugat atau dibiayai bersama dengan Tergugat.
Abdul Kadir Muhammad menegaskan peran Pemeriksaan Setempat dalam penyelesaian perkara. Hasil Pemeriksaan Setempat dipergunakan hakim untuk memperoleh kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan, sebagai bahan-bahan resmi untuk pertimbangan putusan.[14]
Nilai signifikansi Pemeriksaan Setempat tidak hanya terlihat dari hasil yang dijadikan sebagai bahan untuk pertimbangan putusan, juga berperan penting dalam berbagai aspek dan tahapan persidangan. Diantaranya ialah, pertama, kepastian ukuran, batas, dan bendanya. Kedua, tahap peletakkan sita. Ketiga, acara eksekusi ataupun lelang. Keempat, aspek sosio-psikis masyarakat.
Adakalanya seiring waktu, objek sengketa mengalami perubahan baik disebabkan faktor alam maupun faktor sosial. Terdampak abrasi, timbulnya delta, terkena pasang surut air sebagai contoh faktor alam. Faktor sosial seperti pembangunan, penggusuran, pengalihan dan sebagainya.
Tanpa bermaksud mengabaikan aspek lainnya, peletakkan sita akan menjadi mudah dilaksanakan manakala objek tersita telah jelas lokasi, ukuran dan batasnya. Peletakkan sita tanpa sebelumnya dilaksanakan Pemeriksaan Setempat bisa menghasilkan kemungkinan objek sita tidak ditemukan atau sita tidak dapat dilaksanakan. Akibatnya, asas beracara cepat sederhana, dan biaya ringan tidak dapat ditegakkan.
Signifikansinya juga tampil saat putusan telah dijatuhkan. Dalam praktek, terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaan putusan (eksekusi). Seperti batas tanah yang berubah-ubah disebabkan berbatasan dengan air yang pasang surut, terkena abrasi atau bertambah luasnya oleh lumpur. Hal lainnya ialah banyaknya tanah yang belum bersertifikat sehingga ukuran tanah tidak cocok dengan yang tertulis di dalam putusan.[15]
Menyikapi hal tersebut, Yahya Harahap menegaskan bahwa penetapan non eksekutabel atas alasan bahwa batas tanah tidak jelas, jangan tergesa-gesa. Pengadilan dapat melakukan upaya dengan cara memerintahkan Pemeriksaan Setempat. Jika setelah dilaksanakan tidak berhasil, maka eksekusi dinyatakan Non Eksekutabel.[16]
Turunnya Majelis ke lapangan untuk melihat objek sengketa memberikan pesan dan kesan sangat baik terhadap pihak dan masyarakat. Bahwa negara, dalam hal ini diwakili oleh lembaga peradilan bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan sengketa, sebagai kanal penyalur kekisruhan demi upaya menegakkan perdamaian. Tentu bila acara tersebut dilaksanakan dengan ilmu dan kesungguhan hati dengan dibarengi keimanan dan keikhlasan.
Praktek di dalam persidangan memperjelas signifikansi acara pemeriksaan setempat. Pada pemeriksaan setempat untuk perkara Nomor 130/Pdt.G/2013/PA Talu, ditemukan dua hal. Pertama, bahwa ukuran objek sengketa ternyata setengah dari yang didalilkan dalam posita, dan itu diakui oleh kedua belah pihak. Kekeliruan relatif dalam posita dikarenakan pihak Penggugat berdasarkan hanya pada akta otentik yang ada. Kedua, bahwa telah terjadi pengubahan pemilik batas-batas objek sengketa.
Pada pemeriksaan setempat untuk perkara Nomor 50/Pdt.G/2014/PA Talu, ditemukan pula dua hal. Pertama, adanya bangunan di atas tanah sengketa yang sama sekali tidak disebutkan dalam posita[17]. Kedua, ukuran tanah yang berbeda antara dalam akta otentik dengan senyatanya.
D. Peran Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara
Ilmu, integritas serta kejelian hakim sangat nyata diperlukan dalam menyelesaikan perkara (baca: sengketa). Memahami dan jeli dalam melihat permasalahan, menemukan celah cacat formil dalam gugatan sekaligus menyarankan perbaikannya, piawai mendamaikan dan memediasi, membantu kedua belah pihak dalam batas-batas tertentu, dan menggunakan segenap instrumen beracara demi selesainya perkara.
Hakim yang memutuskan relevan tidaknya suatu alat bukti. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan terdapat pedoman agar jangan sampai memperlambat proses, misleading, tidak proporsional, dan tidak rasional, namun pedoman tersebut bersifat umum sehingga banyak ruang bagi hakim untuk berkreasi.[18]
Ketika para pihak tidak meminta, karena jabatannya, secara ex officio, akan berinisiatif untuk menetapkan dilaksanakannya Pemeriksaan Setempat ketika mendapatkan bahwa objek sengketa memiliki masalah tertentu. Hal itu didapatkan dan dapat digali dari proses persidangan. Tidak lain dan tidak bukan, demi tercapainya asas dalam beracara. Urgensi Pemeriksaan Setempat bisa terlihat dari beberapa yurisprudensi dibawah ini.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 274 K/Sip/1976 tanggal tanggal 25 April 1979 ditegaskan bahwa: Karena judex facti belum memeriksa tanah milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat, kepada Pengadilan Negeri diperintahkan untuk mengadakan pemeriksaan setempat disertai pengukuran tanah tersebut oleh Sub. Dit. Agraria Kabupaten yang disaksikan oleh Hakim yang bersangkutan dan pihak-pihak.[19]
Putusan Nomor 3783 K/Pdt/1987, perkara antara Negara RI qq. Pemerintah qq. Departemen Keuangan RI melawan Yayasan Pendidikan Wiraswasta Indonesia, Mahkamah Agung, sebelum mengambil putusan akhir menetapkan mengadakan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri untuk mengetahui dengan jelas status dan lokasi tanah sengketa serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan tanah sengketa yang dipandang perlu dengan memanggil saksi-saksi ahli dari 1. Dinas Agraria Jakarta Selatan, 2. Inspeksi Pajak Tanah Jakarta Selatan, 3. Camat Mampang Prapatan Jakarta Selatan, serta saksi-saksi, 1. Lurah Desa Kalibata Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan, 2. Notaris Chufrari Iiamal, SH., 3. Penitera Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 4. Para ahli waris yang namanya tercantum dalam surat Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tanggal 15 April 1964 No. 421/1962.G, tanggal 28 Juli 1964, No.429/1964 G, tanggal 8 Oktober 1974 No. 417/1974 G (bukti P.4b, P.5b, P.6b), supaya menghadiri sidang permusyawaratan Mahkamah Agung.[20]
Hasil Pemeriksaan Setempat merupakan fakta yang ditemukan hakim di persidangan, oleh karenanya mempunyai daya kekuatan mengikat bagi hakim. Daya mengikat pemeriksaan setempat seperti yang terlihat dalam beberapa yurisprudensi berikut yaitu: pertama, dapat menetapkan luas tanah objek sengketa.
Hakim dapat menetapkan luas tanah objek sengketa. Sedangkan mengenai batas-batas tidak begitu relevan, sebab menurut pengalaman sering terjadi perubahan tanah akibat dari peralihan hak milik atas tanah. (Putusan Mahkamah Agung No. 1497 K/Sip/ 1983). Kedua, dapat dijadikan dasar mengabulkan gugatan. Dalam hal dalil gugatan
dibantah oleh pihak tergugat, tetapi ternyata berdasarkan pemeriksaan setempat luas tanah objek sengketa sama dengan yang tersebut dalam gugatan, maka dapat dijadikan dasar dikabulkan gugatan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 3197 K/Sip/1983). Ketiga, dapat digunakan untuk memperjelas objek sengketa. Hasil pemeriksaan setempat dapat dijadikan dasar untuk memperjelas letak, luas dan batas-batas objek sengketa (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1777 K/Sip/1983).[21]
Meskipun pemeriksaan setempat bukan alat bukti sebagaimana Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg., dan Pasal 1866 KUHPerdata, tetapi oleh karena tujuannya agar hakim memperoleh kepastian peristiwa yang disengketakan, maka fungsi pemeriksaan setempat hakekatnya adalah sebagai alat bukti.[22] Kekuatan pembuktiannya sendiri diserahkan kepada hakim.
Hemat penulis, argumentasi yuridis perihal nilai pembuktian pemeriksaan setempat dapat dilihat dari berbagai kajian. Pertama, secara analogis dari lembaga pengakuan. Pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara dipersidangan yang membenarkan, baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, padahal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. Dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai. Kedua, keharusan hasil Pemeriksaan Setempat mesti dituangkan dalam bentuk relaas atau berita acara yang merupakan akta otentik. Ketiga, Pemeriksaan Setempat adalah alat bukti karena memenuhi syarat untuk itu. Secara materil maupun formil. Ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, berikut juga sistem peraturannya. Keempat, secara doktrina, beberapa ahli hukum menempatkan Pemeriksaan Setempat dalam urutan alat bukti.
Terakhir, menarik untuk dikemukakan mengenai pengaturan Pemeriksaan Setempat dalam RUU Hukum Acara Perdata. Pemeriksaan Setempat diatur dalam Bagian Kedelapan dengan titel Pemeriksaan Setempat dan Keterangan Ahli. Pada Pasal 145 ayat (1) dan (2) disebutkan: “Dalam hal memandang perlu mengadakan pemeriksaan setempat supaya duduk perkara menjadi lebih terang, maka Ketua Majelis dapat menunjuk satu atau dua orang anggota majelis dengan dibantu oleh panitera persidangan untuk melakukan pemeriksaan setempat tersebut. Hasil pemeriksaan setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dan panitera yang bersangkutan.”
D. Kesimpulan
Diakhir tulisan dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Pemeriksaan Setempat dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia merupakan salah satu alat bukti, atau setidaknya penunjang alat bukti. Kedua, argumentasi nilai pembuktian hasil (produk) Pemeriksaan Setempat atas dasar analogi dengan lembaga pengakuan, relaas sebagai akta otentik, terpenuhinya syarat sebagai alat bukti, dan pendapat para ahli hukum. Ketiga, Pemeriksaan Setempat berperan penting dalam beracara, mencapai peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan untuk menyelesaikan sengketa demi terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berketertiban.
Wallahu ‘alam,
Simpang Ampek, 09 Oktober 2014
* Hakim Pengadilan Agama Talu
[2] Tiga hal lainnya adalah: proses peradilan terkesan angker karena hanya memperhatikan aspek yuridis saja tanpa memperhatikan aspek sosiologis, psikologis dan relijius yang merupakan unsur-unsur sengketa suara holistik. Tidak ada komunikasi timbal balik antara hakim dan pihak-pihak. Hakim terlalu mendominasi proses peradilan dan kurang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk aktif sebagai subjek dalam proses penyelesaian sengketa. Hakim cenderung menempatkan para pihak sebagai objek yang harus diperiksa dan diadili. Mukti Arto, “Mencari Keadilan: Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 2001, hlm. v-vi. Gambaran yang sama diungkapkan oleh M. Yahya Harahap dalam, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233-235. Dalam suatu acara, Wakil Ketua PTA Padang, Dra. Hj. Husnaini, SH., M.Ag., mengatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi pihak untuk banding lebih disebabkan ketidakpuasan atas acara persidangan dibanding terhadap putusannya itu sendiri.
[3] Rincian tersebut bersifat hierarkis. Artinya, dalam perkara perdata yang utama adalah tulisan. Sebaliknya, dalam pidana adalah saksi.
[4] Sudikno menambahkan Pemeriksaan Setempat dan Keterangan Ahli ke dalam alat bukti perdata. Sehingga berjumlah tujuh. (Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I, Edisi ke-7, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm. 196-197. Sedangkan Mukti Arto merincinya menjadi sembilan, yaitu dengan menambahkan Pembukuan (Pasal 167 HIR/ Pasal 296 R.Bg.), dan Pengetahuan Hakim Pasal 178 ayat (1) HIR (Lihat Mukti Arto dalam Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Edisi Revisi, Cet. VII, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 139).
[5] Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 137
[6] Soebekti, Hukum Pembuktian, Cet. XVIII, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 1
[7] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, op.cit. hlm. 139.
[8] Ibid
[9] Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Cet. VI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 86; R. Soebekti, Hukum Pembuktian, op.cit., hlm. 13; R. Soebekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Cet.I, 1977, hlm. 82
[10] Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, op.cit., hlm. 196
[11] Lilik Mulyadi dan Mohammad Saleh menyebutnya sebagai: “Anasir lain yang dapat dilakukan hakim untuk mendukung pembuktian dalam perkara perdata”, lihat dalam Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia: Persepektif, Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, Cet. I, 2012, hlm. 185-186
[12] Terjemahan Pasal 153 ayat (1) dan (2) HIR diambil dari R. Soeroso, Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis, HIR, R.Bg., dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Cet. II, Jakarta, 2011, hlm. 86
[13] Perihal Pasal 153 HIR dan 180 R.Bg. ini, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa: pada waktu pasal ini dibentuk, Pengadilan Negeri selalu melakukan pemeriksaan perkara perdata dengan tiga orang, yaitu seorang Ketua dan dua orang anggauta. Sekarang Pengadilan Negeri melakukan pemeriksaan itu sering dengan seorang hakim. Berhubung dengan perubahan pasal tersebut harus ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa kalau perlu Hakim sendiri akan pergi ke tempat keadaan untuk melihat sendiri keadaan itu dengan mata kepala sendiri. Lihat dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cet. VII, Sumur Bandung, 1978, hlm. 87. Sebagai pandangan, menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan Majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim kecuali undang-undang menentukan lain.”
[14] Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. IX, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 158. R. Soebekti menggolongkan hasil pemeriksaan setempat sebagai pengetahuan hakim. Lihat Hukum Acara Perdata, op.cit., hlm. 77
[15] Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, Akademika Pressindo, Cet. I, Jakarta, 1987, Hlm. 86-87
[16] Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Edisi Kedua, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 350-351.
[17] Hal yang sama terjadi pula dalam perkara Nomor 383/Pdt.G/2013/PA Talu.
[18] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Cet. I, Citra Aditya Bakti, bandung, 2006, 42-43
[19] Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 424.
[20] Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 5 Tentang Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Cet.I, Jakarta, 2012, hlm. 538-539
[21] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, op.cit., hlm. 788-789
[22] Sudikno Mertokusumo menyebutkan secara enumeratif dan berurutan kelima bukti sebagaimana disebutkan Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg., dan Pasal 1866 KUHPerdata dengan tambahan urutan keenam dan ketujuhnya ialah Pemeriksaan Setempat dan Keterangan Ahli.