Praktek Pembuktian dalam Perkara Permohonan Pengesahan Perkawinan (Itsbat Nikah)

“Bisa kami lihat Buku Nikahnya, Pak?”.“Oh, ga bawa Mbak, kalau KTP saya dan KTP isteri, sealamat, ada”, “Oh, itu bisa juga”. Sebentar pergi bawa KTP, datang lagi dengan si sulung nangkring di pundak. “Oh, KTP-nya satu saja Pak “, ucap resepsionis.

A. PENDAHULUAN

Dalam menjalani kehidupannya, dari bangun tidur sampai tidur kembali, individu mengalami dan menjalani berbagai peristiwa dan perbuatan. Mulai yang relatif biasa sampai penting. Makna relatif disini artinya, mungkin suatu saat hal tersebut dipandang peristiwa atau perbuatan biasa, namun ternyata di kemudian hari menjadi termasuk hal penting. Ataupun mungkin bagi satu subjektifitas individu tertentu penting, sedangkan bagi selainnya, sebaliknya.

Diantara peristiwa yang penting ialah perkawinan. Bersatunya dua manusia dalam satu ikatan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. Lembaga untuk memenuhi berbagai dimensi kebutuhan manusia yang memiliki implikasi hukum sangat luas sehingga pengaturannya diurai secara rinci dan menyeluruh. Satu diantaranya ialah mengenai pencatatannya.

Pencatatan perkawinan telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang Pentjatatan Nikah dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih khusus lagi, dalam Kompilaswi Hukum Islam ditegaskan: “Adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” [Pasal 7 ayat (1)].

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk telah mendorong kesadaran masyarakat untuk mencatatkan perkawinannya. Atas sebab satu dan lainnya, demikian banyak peristiwa perkawinan yang tidak punya kekuatan hukum karena tidak tercatat. Tentu saja untuk dicatatkannya suatu perkawinan, secara materil mesti memenuhi aturan Agama yang dianut.

B. MEMBAHAS ULANG MAKNA TERBUKTI

Membuktikan dalam hukum acara perdata mempunyai arti yuridis. Tidak mungkin adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan bukti lawan.

Membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis artinya memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan nkepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[2]

Berbagai alat bukti dikompilasi-kalkulasikan sedemikian rupa hingga mencapai tarap tertentu yang dinamai keyakinan atau mendekati keyakinan. Pokok pangkal perkara permohonan pengesahan perkawinan terletak pada proses pembuktiannya di persidangan, yaitu terbukti atau tidaknya tentang telah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam di Indonesia, dengan alat bukti yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meyakinkan hakim.

Berdasarkan pengertian bahwa membuktikan adalah “meyakinkan”, maka Penulis menyimpulkan bahwa dalam ukuran persentasi. Terbukti dimaknai sebagai terpenuhinya nilai 100%[3].

M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa dalam pembuktian senantiasa ada kemungkinan ketidakbenaran, walau itu sekecil apapun. Artinya, selalu ada kemungkinan salah. Atas dasar itu, putusan yang telah berkekuatan hukum masih terbuka untuk digugat karena tidak ada kebenaran yang mutlak. Arti lainnya, tidak ada pembuktian yang 100%. Dengan tegas beliau menyatakan: meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable).[4] Ketika membahas kewarisan orang yang mati bersama, Prof. Amir Syarifuddin menyatakan bahwa zhan, asumsi dengan tingkat kepastian di atas 60%, dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.[5]

Dalam konteks persidangan, membuktikan adalah meyakinkan setengah plus satu dari jumlah hakim pada satu majelis. Bagaimana dengan alat bukti yang telah ditentukan, pihak yang berperkara mampu meyakinkan bahwa suatu perkawinan adalah sah. Sehingga makna terbukti ialah Majelis “yakin” tentang kebenaran dalil dengan memenuhi batas minimal keyakinan yaitu sebatas zhan 60%.

Dalam praktek, terdapat beberapa pedoman pokok dalam mengadili perkara permohonan pengesahan perkawinan (untuk selanjutnya disebut Itsbat Nikah). Pertama, aturan yang tidak dapat disimpangi sama sekali. Kedua, aturan yang dapat disimpangi selama ada alasan untuk itu. Rukun dan syarat menurut agama (Islam sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam) merupakan pedoman yang pertama. Tidak terbukti telah dipenuhinya menyebabkan perkara ditolak. Sebaliknya untuk pedoman yang kedua.

Dalam praktek pula ditemukan, bahwa pelik perkara Itsbat Nikah terletak pada dua hal: pertama, wali nikah yang sah. Kedua, ada atau tidaknya hubungan perkawinan lain dari “suami istri” tersebut. Pelik pertama biasanya dengan mudah diketahui, misalnya dari tempat dilangsungkan perkawinan yang berbeda dengan domisili orang tua atau keluarganya, keengganan atau ketiadaan orang tua atau keluarganya menjadi saksi di persidangan atau indikasi lainnya. Pelik kedua biasanya relatif diketahui dari usia saat perkawinan dilangsungkan dihubungkan dengan berbagai kondisi pihak saat itu. Anggapan bahwa cerai di bawah tangan adalah sah dan atau poligami di bawah tangan adalah sah menjadi penyebab makin peliknya hal kedua. Untuk rukun dan syarat yang lain, relatif tidak pernah ditemukan kendala. Karena sedemikian fikih-nya masyarakat perihal perkara ini.

Alat bukti yang dipergunakan untuk perkara itsbat bikah, dalam praktek, berkisar atas empat jenis, yaitu surat, saksi, persangkaan, dan sumpah. Menurut hukum acara perdata, tiap-tiap alat bukti memiliki syarat formil dan materil yang berbeda, disamping mempunyai nilai pembuktian yang berbeda pula.

Berikut praktek pembuktian perkara itsbat nikah dengan mengikuti urutan alat bukti berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan klasifikasi secara hierarkis kekuatan pembuktiannya.

C. PRAKTEK PEMBUKTIAN PERKARA ITSBAT NIKAH

Berikut pembahasan pembuktian perkara Itsbat Nikah berturut-turut sebagaimana sistematika dan hierarki yang diatur oleh Pasal  284 R.Bg./ 164 HIR.

  1. 1. Bukti Surat

Bukti surat mencakup sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian, terdiri atas akta otentik dan akta di bawah tangan.

Untuk peristiwa perkawinan penduduk yang beragama Islam, Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama setempat adalah sebagai pejabat yang berwenang dalam pencatatannya. Dalam hal ini dikenal bukti surat bernama Kutipan Akta Nikah, sebagai “kutipan” dari Akta Nikah yang tersimpan di Kantor Urusan Agama. Juga dikenal adanya Duplikat Akta Nikah bilamana Kutipan Akta Nikah hilang. Kesemuanya adalah akta otentik tentang telah terjadinya perkawinan.

Adakalanya para pihak berperkara untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah, mengajukan alat bukti, berupa surat berbentuk fotokopi Akta Nikah yang telah dilegalisasi oleh Kepala Kantor Urusan Agama terkait. Atas bukti tersebut, Majelis Hakim berpendapat untuk mempertimbangkannya dan berkesimpulan bahwa dalil-dalil Pemohon telah terbukti. Artinya, ditemukan kebenaran tentang adanya hubungan hukum perkawinan antara dua pihak sebagaimana disebutkan dalam bukti surat tersebut.

Termasuk ke dalam kelompok akta yang menunjukkan adanya hubungan hukum perkawinan antara dua pihak adalah adanya akta rujuk dan putusan atau penetapan dari pengadilan. Akta rujuk ialah akta autentik tentang pencatatan peristiwa rujuk sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Sedangkan putusan atau penetapan pengadilan adalah akta autentik yang dibuat oleh pejabat hakim sebagai produk dari pemeriksaan persidangan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penulis  pernah mendapatkan bukti surat yang merupakan unsur-unsur dari Pemberitahuan Kehendak Nikah sebagaimana dimaksud Pasal 5 PMA Nomor 11 Tahun 2007. Dari bukti-bukti surat tersebut Majelis berkeyakinan bahwa para pihak telah mengurus syarat-syarat administratif untuk menikah, apalagi bila dihubungkan dengan bukti saksi yang ternyata merupakan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang hadir menyaksikan akad nikah saat itu. Unsur-unsur pemberitahuan kehendak nikah tersebut terdiri dari:

  1. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/ lurah;
  2. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
  3. Persetujuan kedua calon mempelai;
  4. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/ pejabat setingkat;
  5. 2. Bukti Saksi

Saksi diidentifikasi sebagai orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada dasarnya, untuk dapat bertindak sebagai saksi, seseorang diharuksn memenuhi syarat formil dan materil. Syarat formil mencakup: dewasa, berakal sehat, tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak (kecuali undang-undang menentukan lain), tidak adanya hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun telah bercerai (Pasal 145 HIR/Pasal 172RBg.), tidak ada hubungan kerja kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 145  HIR), minimal 2 (dua) orang. (Pasal 169 HIR), menghadap di persidangan, dan memberikan keterangan secara lisan. Khusus mengenai keadaan status hubungan hukum seseorang adanya hubungan keluarga, semenda dan kerja tidak menghalangi seseorang untuk dapat didengar keterangannya di bawah sumpah di persidangan.

Sedangkan syarat materilnya mencakup bahwa keterangan yang disampaikan adalah hasil dari apa yang dilihat, dengar dan alami sendiri, bukan merupakan pendapat atau kesimpulan, saling bersesuaian satu sama lain, tidak bertentangan dengan akal sehat, dan mengetahui sebab-sebab terjadinya peristiwa yang diterangkan.

Hakim bebas atau tidak terikat dengan keterangan saksi, namun hakim harus memberikan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan tentang diterima atau tidaknya keterangan seorang saksi.

Dalam konteksnya dengan perkara permohonan pengesahan nikah, terdapat berbagai tingkatan kualitas saksi dalam hubungannya dengan pembuktian. Bila distratifikasikan bisa terlihat sebagai berikut:

  1. Saksi yang merupakan wali nikah
  2. Saksi yang menandatangani akta nikah
  3. Saksi yang menyaksikan akad nikah
  4. Saksi yang menghadiri akad nikah
  5. Saksi yang menghadiri upacara/ peresmian/ mendoa
  6. Saksi yang dari awal perkawinan mengetahui kehidupan rumah tangga para pemohon
  7. Saksi yang dalam rentang waktu tertentu mengetahui kehidupan rumah tangga para pemohon

Saksi yang berkualifikasi utama dalam pembuktian di persidangan ialah saksi yang menandatangani akta nikah. Saksi tersebut secara khusus dan sengaja dihadirkan untuk manjadi saksi nikah sebagaimana dimaksudkan Pasal 19 dan Pasal 26 PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

Sebagaimana disyaratkan Pasal 19 ayat (1) PMA No. 11 Tahun 2007, saksi yang menandatangani akta nikah hanya berjumlah 2 (dua) orang. Namun bisa dipastikan bahwa untuk prosesi akad nikah, biasanya disaksikan banyak orang. Mereka tidak hanya mengantar calon mempelai, namun juga turut menyaksikan, melihat dan mendengar sendiri secara langsung prosesi sebelum, ketika dan setelah akad nikah dilangsungkan, walaupun tidak turut dipilih atau ditunjuk secara khusus untuk menandatangani akta nikah.

Termasuk kategori saksi yang utama ialah yang bertindak sebagai wali dalam perkawinan tersebut dan Pegawai Pencatat Nikah. Wali nikah, mulai dari ayah kandung hingga wali hakim dapat menjadi saksi untuk menguatkan dalil permohonan pengesahan nikah. Apalagi, wali nikah merupakan salah satu rukun nikah yang terlibat dan memiliki posisi yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan tugas pencatatan perkawinan. Agar berkekuatan hukum, perkawinan harus dilaksanakan di depan PPN atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Ketika ada satu dan lain hal sehingga perkawinan tidak tercatat, maka PPN atau P3N tersebut bisa dihadirkan untuk menjadi saksi dalam rangka membuktikan adanya akad nikah.

Ada pula saksi yang tidak menyaksikan, melihat dan mendengar sendiri secara langsung prosesi sebelum, ketika dan setelah akad nikah dilangsungkan, namun terlibat secara langsung dalam acara perkawinan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa perkawinan adalah peristiwa pribadi namun tidak bisa disembunyikan karena akan melibatkan banyak orang dan banyak pihak. Perkawinan biasanya diawali dengan proses perkenalan dan peminangan terlebih dahulu. Ketika perkawinan dilangsungkan, dibentuk panitia dengan berbagai tugas masing-masing. Mereka mengetahui dengan persis siapa yang akan menjadi calon mempelai, walaupun kadang tidak turut menyaksikan akad nikahnya.

Kualifikasi yang keempat ialah saksi yang menghadiri resepsi perkawinan. Termasuk dalam pengertian resepsi ini ialah upacara adat, peresmian, ataupun syukuran (mendoa). Mereka biasanya mendapat undangan resmi dari mempelai untuk dating, berbahagia dan turut mendoakan. Walaupun tidak turut menyaksikan dan menghadiri prosesi akad nikah, namun jauh-jauh hari sebelumnya sudah mengetahu kan adanya perkawinan. Bahkan mereka sengaja datang, melihat duduknya dua pengantin di pelaminan dan mengalami sendiri tentang adanya suatu acara walimah sebagai perwujudan perintah agama untuk menyebarluaskan kabar tentang adanya perkawinan.

Termasuk saksi kualifikasi kelima ialah orang yang dari awal perkawinan mengetahui kehidupan rumah tangga para pemohon. Dalam kehidupan nyata di masyarakat, mayoritas prosesi akad nikah tidak melibatkan seluruh warga sekitar. Atas satu alasan, mereka tidak turut diundang untuk menghadiri resepsi perkawinan, namun mereka mengetahui secara persis keluarga siapa yang akan menikahkan dan siapa yang akan dinikahkan.

Kualifikasi terakhir berkenaan dengan saksi yang dalam rentang waktu tertentu mengetahui kehidupan rumah tangga para pemohon. Saksi tidak mengetahui perkawinan para pihak berperkara, namun saksi menyaksikan dengan melihat dan mendengar sendiri tentang kehidupan rumah tangga mereka sekian lama.

Saksi melihat bahwa para pihak berperkara hidup bersama dalam sebuah rumah, memiliki keturunan, bergaul dalam berbagai aktifitas masyarakat. Satu pihak disebut masyarakat sebagai “suami” bagi pihak yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Atau, satu pihak dipanggil sebagai “bapak atau ibu” bagi anaknya. Dalam rentang sekian lama, saksi melihat, mendengar dan mengalami, tidak ada seorang pun yang menggugat keabsahan perkawinan para pihak.

Tentu saja hal tersebut di atas, dengan memperhatikan dengan seksama situasi kemasyarakatan dalam berbagai tinjauannya. Karena bagi masyarakat yang sudah terjangkit liberalisme, nilai-nilai agama sudah tidak lagi dijadikan tata aturan hidup, dan terhadap kondisi masyarakat yang demikian, tentu saja hakim harus mempertimbangkannya.

Dalam khazanah Islam, hal tersebut dikenal dengan istilah al-Istifadhah. Sesuatu yang termasyhur yang diperbincangkan banyak orang[6]Syahadah al-istifadhah ialah suatu kesaksian berdasarkan pengetahuan yang bersumber pada berita yang sudah demikian luas tersiar[7].

Suatu kesaksian dari orang yang tidak mengetahui sendiri, mengalami sendiri atau mendengar sendiri proses akad nikah, tetapi orang itu dan orang-orang lain yang banyak jumlahnya hanya tahu bahwa para pihak sudah lama hidup serumah beranak-pinak, dan semua masyarakat sekitar meyakini para pihak sebagai pasangan suami isteri. Syahadah al-istifadhah mempunyai nilai untuk disusun menjadi suatu sumber persangkaan, di mana dari persangkaan itu dapat disimpulkan terbuktinya sesuatu.

Terjadinya suatu pernikahan sangat sulit untuk dibohongi. Walaupun ia merupakan privat affair, urusan pribadi, namun dalam pelaksanaannya, mau tidak mau harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya sepasang manusia berlainan jenis. Minimal ada orang tua dan saksi. Demikian juga halnya dengan lahirnya peristiwa lanjutan dari sebuah perkawinan seperti lahirnya seorang anak, akikahnya dan khitannya.

  1. 3. Persangkaan

Menurut Pasal 310 R.Bg. / Pasal 173 HIR, tentang “Hal Persangkaan atau Dugaan”, disebutkan bahwa “Persangkaan bersahaja yang tidak didasarkan suatu peraturan undang-undang yang tertentu, hanya boleh diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan putusan, jika persangkaan itu penting (gewichtig), seksama (naukeurig), tertentu (bepaald) dan satu sama lain bersetujuan (overeenstemming).[8]

Dalam Pasal 1915 BW disebutkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang diambil oleh undang-undang atau hakim dari suatu hal yang diketahui sampai hal-hal / peristiwa-peristiwa yang tidak diketahui atau dikenal. “Persangkaan Hakim” (rechtelijk vermoedens) yaitu persangkaan yang memenuhi syarat-syarat.

Sebagi ilustrasi, ketika satu pasangan akan menginap di sebuah tempat istirahat (penginapan atau sejenisnya), Resepsionis akan menanyakan akta nikah. Ketika akta tersebut tidak dibawa, biasanya resepsionis akan menanyakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk melihat apakah pasangan tersebut sealamat atau tidak. Dari fakta sealamat, diambil persangkaan bahwa pasangan tersebut adalah suami isteri.

Dalam praktek persidangan, terdapat berbagai alat bukti, yang pada bentuknya merupakan bukti surat autentik, namun secara materil merupakan bukti tidak langsung, yang dari padanya hakim dapat mengambil suatu kesimpulan, dimana bila satu dihubungkan dengan bukti lainnya, akan mampu menguatkan tentang peristiwa atau suatu hubungan hukum.

Terkait uraian tersebut diatas, dalam praktek, Majelis berpendapat tentang adanya hubungan perkawinan yang sah antara para pihak dari bukti-bukti surat antara lain: Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Ijazah Anak Tingkat SD, SLTP dan SLTA, Formulir Model N, Surat Wali Nagari, Surat Keterangan/ Kenal Lahir, Akta Kelahiran, Kartu Undangan, Foto Pernikahan, Sertifikat BP4, Bukti Elektronik, dan lain-lain.

Kartu Keluarga (KK) merupakan akta autentik dimana didalamnya diterangkan tentang nama kepala keluarga, isteri dari kepala keluarga tersebut, anak-anak yang lahir dari pasangan tersebut dan alamatnya. Masing-masing anggota keluarga diterangkan secara detail perihal nama orang tua kandung masing-masing, tempat tanggal lahir, pekerjaan, pendidikan, dan agamanya. Alur birokrasi pembuatan surat administrasi pemerintahan turut memberikan nilai kekuatan pembuktian untuk sebuah KK.

Demikian juga halnya dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Akta autentik tersebut menerangkan tentang nama penduduk berikut tempat tanggal lahir, alamat, agama, golongan darah dan status. Fakta sealamatnya para pihak dan hal-hal lain yang bisa digali dari KTP tersebut, bisa menguatkan atau setidaknya memberikan kepada fakta kepada hakim untuk menyimpulkan dan mengkontruksi suatu persangkaan.

Berbeda dengan Ijazah strata 1, 2 atau 3, ijazah pada tingkat sekolah dasar dan menengah disamping mencantumkan nama pemegang ijazah tersebut, juga menerangkan siapakah ayah kandungnya. Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) selama 6 (enam) tahun, dan pendidikan di sekolah menengah yang masing-masing 3 (tiga) tahun, tentu memberikan keterangan dan fakta.

Sebelum melangsungkan perkawinan, suatu pasangan yang berkehendak untuk menikah terlebih dahulu mengurus kelengkapan administratif untuk menikah yang dikenal masyarakat sebagai Formulir Model N. Disamping membuktikan bahwa pihak berperkara telah mengurus kelengkapan surat-menyurat untuk menikah, Majelis memiliki pijakan persangkaan tentang telah terjadinya suatu perkawinan.

Adakalanya pihak berpekara menyampaikan bukti Surat dari Wali Nagari yang isinya menerangkan bahwa benar pihak berpekara adalah pasangan suami-isteri. Secara substansial atau materil, surat keterangan tersebut dapat disejajarkan dengan syahadah istifadhah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dalam kurun waktu tertentu, aparatur pemerintahan setempat, mulai RT hingga Desa atau Kelurahan (Jorong hingga Nagari) mengetahui kondisi kehidupan rumah tangga (perkawinan) pihak berperkara. Bukti seperti ini mesti ditunjang dengan alat bukti yang lainnya.

Surat Keterangan/ Kenal Lahir dan Akta Kelahiran merupakan akta otentik. Di dalamnya tidak hanya diterangkan nama anak, juga nama pasangan orang tuanya. Kedudukannya sama dengan bukti-bukti yang diterangkan sebelumnya. Kekuatan pembuktiannya mesti ditunjang alat bukti yang lain.

Foto pernikahan dan Sertifikat dari BP4 merupakan alat bukti yang turut menunjukkan akan adanya suatu perkawinan. Majelis akan memastikan bahwa wajah yang tergambar di dalam foto tersebut adalah wajah pihak berperkara. Mulai foto ketika akad nikah diucapkan hingga foto di pelaminan. Termasuk dalam kategori ini ialah kartu undangan perkawinan.

Bukti elektronik memiliki nilai pembuktian yang signifikan. Walaupun hukum positif memberlakukan alat bukti yang terbatas dalam bidang perdata, namun sistem pembuktian memberikan jalan melalui persangkaan. Bukti elektronik tersebut berbentuk video, audio, dan audio visual.

Khusus di wilayah Simatera Barat, terdapat kearifan lokal yang hanya berlaku dalam komunitas tersebut. Dikenal istilah “tigo sapilin”, yang maknanya yaitu: agama-peraturan perundang-undangan-adat. Disamping harus terpenuhinya syarat agama, dilaksanakan sesuai aturan negara, suatu perkawinan juga  harus memenuhi syarat adat, yaitu tidak boleh menikah satu suku dalam garis ibu (matrilineal). Hal tersebut bisa dimaknai bahwa “bila adat saja dipenuhi, apalagi”.  Dalam pertimbangannya terhadap perkara Penetapan Nomor: 099/Pdt.P/2012/PA.ML., Majelis Hakim Pengadilan Agama Muara Labuh menyatakan:

Menimbang, bahwa di persidangan telah terbukti antara Pemohon I dengan Pemohon II berbeda suku;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat untuk mempertimbangkan situasi dan kondisi kearifan masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat Minangkabau, sebagai berikut;

Menimbang, bahwa sebuah komunitas (kaum atau umat) masyarakat agamis, semisal masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, dimana kriteria dibolehkannya pernikahan berlangsung tidak hanya harus memenuhi ketentuan syariat agama Islam, melainkan pun harus dipenuhinya ketentuan tambahan menurut hukum adat tidak mungkin bersepakat atas kemunkaran atau kesesatan dengan membiarkan pasangan nikah kumpul kebo (tanpa ikatan yang sah) hidup bergaul dalam beragam segmen aktifitas kemasyarakatan;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat untuk mengambil alih makna, maksud, tujuan dan ruh sebuah hadits yang berbunyi:

Artinya: ”Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul (untuk bersepakat) atas kesesatan” (HR. Ibnu Majah);

4. Sumpah

Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.

Dalam praktek, sumpah yang dipergunakan dalam pemeriksaan permohonan pengesahan nikah ialah sumpah pelengkap (supletoir). Sumpah jenis ini diatur dalam Pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

Untuk dapat diperintahkan sumpah supletoir kepada pihak berperkara harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya sehingga apabila ditambah dengan sumpah pelengkap (supletoir) pemeriksan perkaranya menjadi selesai sehingga hakim dapat menjatuhkan putusannya, misalnya apabila hanya ada seorang saksi saja.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas, terdapat beberapa point yang dapat disimpulkan yaitu:

  1. Terbukti tidak harus yakin dalam arti 100%. Namun, majelis harus berusaha berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan untuk meraih persentasi yang setinggi-tinginya;
  2. Alat bukti sebagaimana diatur Pasal  284 R.Bg./ 164 HIR untuk perkara Itsbat Nikah masing-masing dapat diklasifikasikan dengan secara sistematis dan hierarkis;

[1] Hakim Pengadilan Agama Talu

[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2009), Edisi Delapan, Cet. I, hal. 137.

[3]Sebagai bandingannya, Abdul Hamid Hakim dalam Mabadiy al-Awwaliyyah menyebutkan tingkatan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu menjadi 4 (empat) tingkatan. YaqinDzanSyak, dan Wahm, (Padang Panjang: Sa’adiyyah Putra, t.t.), hlm. 4

[4]Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet.VII, hal. 496

[5] Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), Cet. III, hal. 171

[6] Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, al-Thuruqu Hukmiyyati fie Siyasati al-Syariyyati, (Jeddah: Dar al-Madaniy, t.t.), hlm. 212

[7] Abdul Karim Zaidan, Nidzamul al-Qadha fie al-Syariati al-Islamiyyati (1984), hlm. 174.

[8] Dalam khazanah Fikih Islam dikenal adanya mazhinnah. Suatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab hakiki yang tidak nyata, Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah Islamiyyah, 1967), hlm. 64

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content