KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT HUKUMNYA (Analisis Terhadap Poligami Lebih dari Empat)

A. Pendahuluan

Manusia adalah pemimpin di muka bumi. Melakukan berbagai perbuatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Diantara perbuatan tersebut ialah melangsungkan perkawinan. Tidak hanya berdimensi relijius, perkawinan pun memiliki banyak dimensi lainnya. Pemenuhan hasrat seksual (biologis), menyayangi keturunan (psikologis), pergaulan masyarakat (sosiologis), aturan tata keluarga dengan beragam kompleksitasnya, dan dimensi lainnya. Aturan tersebut berasal dari berbagai norma mulai dari norma susila sampai norma hukum.

Beberapa waktu lalu, ada fenomena tentang seseorang yang berpoligami melebihi empat. Kabar terakhir menyebutkan bahwa istri kelima dan seterusnya telah diceraikan. Menarik untuk dikaji karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) tidak menyebutkan secara ekplisit perihal larangan poligami lebih dari empat.

Bila dihubungkan dengan adanya asumsi bahwa perkawinan kelima dan seterusnya tercatat atau tidak tercatat pada lembaga resmi untuk itu, memunculkan persoalan lain yaitu mengenai solusi penyelesaiannya menurut hukum. Beberapa alternatifnya adalah perceraian, pembatalan, pelepasan, dan pemisahan. Khusus untuk pembatalan terbagi dua: batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

Persoalan lainnya ialah mengenai akibat hukum. Hukum positif menetapkan implikasi ketika hubungan perkawinan diputus atau dibatalkan. Tulisan ini hanya akan menyoroti solusi penyelesaian dengan cara kedua yang mengatur mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan yakni dimulai sejak putusan berkekuatan hukum tetap dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali untuk hal-hal tertentu. Mengenai solusi penyelesaian selainnya perlu kajian lain untuk itu.

Pokok kajian menjadi sangat menarik karena selain atas dasar adanya fiksi hukum, aturan mengenai batasan berpoligami sangat familier hatta bagi masyarakat awam sekalipun. Lain halnya bagi yang baru masuk Islam (muallaf) sebagaimana pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Kepada Sang muallaf yang berpoligami lebih dari empat, diperintahkan untuk memilih (ikhtar) empat saja, dan berpisah (fariq) dengan selebihnya.

Dari prolog diatas, penulis mencoba mengidentifikasi beberapa masalah. Pertama, apa dasar hukum pelarangan poligami lebih dari empat? Kedua, bagaimanakah penyelesaian secara hukum perdata terhadap poligami lebih dari empat? Ketiga, apa saja akibat hukum dari dibatalkannya poligami lebih dari empat?

Untuk itu secara berturut-turut tulisan ini akan coba mengulas tentang pengertian kebatalan dan pembatalan, hukum positif Indonesia tentang pembatalan perkawinan, dasar syariat larangan poligami lebih dari empat, dan berbagai implikasi hukum seputar pembatalan poligami lebih dari empat dari persfektif UUP dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

 

B. DEFINISI KEBATALAN DAN PEMBATALAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan berbagai arti kata “batal”. Diantaranya ialah bermakna tidak berlaku atau tidak sah. Seperti dalam kalimat: “perjanjian itu dinyatakan batal”. Membatalkan artinya menyatakan batal (tidak sah), seperti dalam kalimat: “mereka membatalkan perjanjian yang pernah disetujui bersama. Oleh Karena ituPembatalan adalah proses, cara, perbuatan membatalkan.[2]

Batal berasal dari bahasa Arab bathala-yabthulu-bathlan wa buthuulan wa buthlaanan. Artinya, hilang, rusak dan rugi. Seperti dalam kalimat: “dzahaba dhiya’an wa khusran. Batal juga berarti kebalikan dari benar (al-bathilu naqidhu al-haq).[3] Makna lainnya ialah: “laa yakuunu shahihan biashlihi wa maa ya’tadii bihi wa laa yufidu syaian.[4]

Sedangkan menurut ushuliyyun (para ahli ilmu ushul fikih), batal ialah suatu keadaan yang tidak sah. Sehingga manfaat yang dituju atau yang diinginkan tidak tercapai. Faidah yang hendak dicapai tersebut seperti peralihan hak milik. Batal terbagi atas dua maksud. Bila mengenai ibadah artinya tidak memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban. Sedangkan dalam muamalah, artinya tidak tercapai manfaat yang diharapkan darinya secara hukum.[5]

Dalam khazanah hukum Indonesia, Habieb Adjie mengutip Herlien Budiono menyebutkan bahwa:[6]

Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka dinyatakan dengan istilah sederhana “batal”, tetapi adakalanya menggunakan istilah ‘batal dan tidak berhargalah’ (Pasal 879 KUHPerdata) atau ‘tidak mempunyai kekuatan’ (Pasal 1335 KUHPerdata). Penggunaan istilah-istilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk ‘batal demi hukum’ atau ‘dapat dibatalkan’. Pada pasal 1446 KUHPerdata dan seterusnya untuk menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah ‘batal demi hukum’, ‘membatalkan’ (Pasal 1449 KUHPerdata), ‘menuntut pembatalan’ (Pasal 1450 KUHPerdata), ‘pernyataan batal’ (Pasal1451-1452 KUHPerdata), ‘gugur” (Pasal 1545 KUHPerdata), dan ‘gugur demi hukum’ (Pasal 1553 KUHPerdata).

 

Dalam hukum perjanjian, batal demi hukum (nietig) merupakan istilah untuk perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif (hal tertentu dan kausa yang halal). Sedangkan dapat dibatalkan dimaksudkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan). Berbeda dengan keadaan yang dapat dibatalkan, keadaan batal demi hukum tidak memerlukan permintaan dari para pihak. Walaupun begitu, menurut R. Subekti, jika suatu perjanjian sudah tidak memenuhi syarat objektif, namun ada yang menggugat, maka hakim diwajibkan karena jabatannya, menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.[7]

Mengutip pendapat Marjanne Termorshuizen dan A van den End,  M. Yahya Harahap, menerangkan bahwa istilah batal demi hukum berasal dari van rechtswege nietig (nietigheid ex tunc atau legally void, null and void, void by operation of law, void ipso jure), yang artinya adalah sesuatu hal yang tidak sah sejak semula. Berbeda halnya dengan dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), sesuatu tersebut dapat dinyatakan tidak sah, dapat juga sebaliknya. Persetujuan atau hal, keadaan dan produk itu dianggap tetap berlaku sah sampai ada putusan hakim yang menyatakan tidak sah.[8]

Perbedaan antara kebatalan dan pembatalan terletak pada ada atau tidaknya permintaan suatu pihak. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dari berbagai pasal dalam BW, terdapat dua jenis batal: pembatalan mutlak (absolutenietigheid) dan pembatalan tak mutlak (relatief). Yang pertama, perjanjian harus dianggap batal sejak semula dan terhadap siapapun juga meskipun tidak diminta oleh suatu pihak, sedangkan yang kedua, pembatalan terjadi bila diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang tertentu.[9]

Tan Thong Kie menjelaskan bahwa Kebatalan (nietigheid) disebut juga batal absolut atau batal demi undang-undang, sedangkan Pembatalan (vernietiging) dapat menyebabkan suatu akibat yang dapat membatalkan atas permintaan pihak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat tiga perbedaan antara keduanya. Pertama, batal absolut tidak dapat dikuatkan, sedangkan yang batal relatif dapat dibatalkan. Kedua, tindakan yang batal absolut tidak menjadi suatu alasan atau dasar (titel) untuk memperoleh kadaluarsa, sedangkan batal relatif sebaliknya. Ketiga, hakim karena jabatannya tidak memperhatikan tindakan yang batal demi undang-undang, ia hanya memerhatikan kebatalan relatif apabila ada suatu pihak yang mengajukan permintaan untuk itu.[10]

Artikel ini berpegang pada pendapat Wirjono Prodjodikoro dan Tan Thong Kie, bahwa kebatalan merujuk kepada maksud batal demi hukum, sedangkan pembatalan untuk yang dapat dibatalkan.

 

C. Hukum POSITIF Indonesia TENTANG Pembatalan Perkawinan

Sebelum unifikasi hukum perkawinan dengan diundangkannya UUP, terdapat berbagai beragam peraturan sesuai dengan penggolongan penduduk. Bagi Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUHP), bagi golongan Tionghoa dan golongan orang-orang Arab dan Timur Asing lainnya berlaku BW dengan beberapa pengecualian, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang berdomisili di tempat-tempat tertentu berlaku HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina), dan bagi golongan selainnya berlaku GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken).[11]

Bagi golongan Islam tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara materil mengadopsi ketentuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki umat Islam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi Umat Islam.

Diferensiasi pengaturan perkawinan tersebut berakhir dengan diundangkannya UUP.[12] Hukum perkawinan di Indonesia diunifikasi dengan menempatkan “hukum agamanya dan kepercayaannya itu” sebagai sentral. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan dan menegaskan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal ini menutup adanya kesahan perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945[13].

Hukum agama demikian memiliki kedudukan yang menentukan. Terlihat dari beberapa substansi aturan dalam undang-undang tersebut. Pasal 6 mengenai Syarat-Syarat Perkawinan ditutup ayat 6 yang menegaskan: “Sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”, penegasan yang sama juga untuk halangan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 10. Tentang larangan kawin, Pasal 8 huruf (f) yang berbunyi: “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Termasuk di dalamnya ialah masalah batalnya suatu perkawinan.

Dalam penjelasan Pasal 22 UUP disebutkan bahwa: “Pengertian ‘dapat’ dalam pasal ini bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan agamanya masing-masing tidak menentukan lain”telah memberi ruang dan kedudukan pasti kepada hukum Agama. Intinya, sah menurut agama, maka UUP pun memandang demikian, dan sebaliknya.[14]

Selain mengakui hukum tertulis, Tata Hukum Negara Republik Indonesia juga mengakui hukum tidak tertulis. Untuk warga Negara yang beragama Islam, selain berlaku UUP, berlaku pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991. Dalam konsideran inpres tersebut dinyatakan bahwa KHI dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan pembahasan seputar kebatalan dan pembatalan perkawinan menurut UUP dan KHI.

 

  1. 1. Pembatalan Perkawinan Menurut UUP
  1. 2. Pembatalan Perkawinan Menurut KHI

 

UUP

 

KHI

 

 

  1. Tidak adanya persetujuan mempelai [Pasal 6 ayat (1)]
  2. Tidak adanya izin orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun [Pasal 6 (2)]
  3. Tidak memenuhi batas minimal usia [Pasal 7 ayat (1)]
  4. Adanya larangan Perkawinan (Pasal 8)
  5. Terikat dengan suatu perkawinan (Pasal 9)
  6. Telah bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10)
  7. Dalam masa tungu (Pasal 11)
  8. Tidak menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 12)
  9. Perkawinan oleh pegawai yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) saksi [26 (1)];
  10. Di bawah ancaman yang melanggar hukum[Pasal 27 (1)]
  11. Salah sangka tentang diri suami atau istri [Pasal 27 (2)]:

 

Kategori Batal:

  1. Poligami dengan lebih dari empat orang wanita (Pasal 70 huruf a)
  2. Menikahi bekas istri yang telah di-lian (Pasal 70 huruf b)
  3. Menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak bain kubra dan tidak memenuhi syarat-syarat (Pasal 70 huruf c)
  4. Adanya larangan perkawinan dengan merujuk pada Pasal 8 UUP (Pasal 70 huruf d)
  5. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. (Pasal 70 huruf e)

Kategori Dapat Dibatalkan:

  1. Poligami liar (Pasal 71 huruf a)
  2. Istri ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (Pasal 71 huruf b)
  3. Istri ternyata masih dalam iddah dari suami lain (Pasal 71 huruf c)
  4. Melanggar batas umur menurut ketentuan Pasal 7 UUP (Pasal 71 huruf d)
  5. Tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak (Pasal 71 huruf e)
  6. Dengan paksaan (Pasal 71 huruf f)
  7. Di bawah ancaman yang melanggar hukum [Pasal 72 ayat (1)]
  8. Penipuan atau salah sangka [Pasal 72 ayat (2)]
  1. Penetapan batas poligami sampai empat;
  1. Larangan menikahi bekas istri yang telah di-lian;
  1. Syarat-syarat menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak bain kubra;
  1. Kedudukan hukum istri dari suami yang mafqud (hilang);
  1. Ancaman sebagai hal yang menyebabkan dapat dibatalkannya perkawinan;
  1. Penipuan sebagai hal yang menyebabkan dapat dibatalkannya perkawinan;
  1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
  1. suami atau istri;
  1. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  1. pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
  1. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
  1. Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terlebih dahulu.
  1. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
  1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.
  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
  1. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
  1. Wajib menyerahkan mahar bila telah melakukan dukhul;
  1. Tetapnya nasab anak kepada bapaknya dalam rangka menjaga keberlangsungan kehidupan anak dan tidak menyusahkannya;
  1. Tetapnya mahram dengan alasan mushaharah karena dukhul;
  1. Tetapnya iddah bila telah dukhul;

 

Lingkup batalnya perkawinan bisa dipahami dari bunyi Pasal 22 UUP. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat tersebut berjumlah 11 (sebelas), yaitu: persetujuan kedua mempelai [Pasal 6 ayat (1)], izin orang tua [Pasal 6 ayat (2)], memenuhi batas minimal usia [Pasal 7 ayat (1)], tidak adanya larangan perkawinan (Pasal 8), tidak terikat dengan suatu perkawinan (Pasal 9 UUP), tidak telah bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10), tidak dalam masa tunggu (Pasal 11), menurut tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 12), perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang berwenangwali nikah yang sah, dilangsungkan dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi [Pasal 26 ayat (1)], tidak di bawah ancaman yang melanggar hukum [Pasal 27 ayat (1)], dan tidak terdapat salah sangka mengenai diri suami atau istri [Pasal 27 ayat (2)].

UUP tidak secara eksplisit mengatur perihal larangan poligami lebih dari empat. Namun secara implisit bisa dipahami dari bunyi Pasal 9 dan Pasal 24 UUP, walaupun tidak terdapat penyebutan angka tertentu. Pasal 9 UUP berbunyi: “Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”.

Hal yang sama pula dapat disimpulkan dari Pasal 24 UUP: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini;

Arso S. dan A. Wasit Aulawi berpendapat bahwa pembatalan perkawinan berkaitan dengan jenis dari larangan perkawinan. Pertama, ada larangan disebabkan melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama dalam perkawinan. Yang mana terbagi dua. Ada yang bersifat abadi sebagaimana disebutkan Pasal 8, 9 dan 10 UUP, dan ada yang bersifat sementara seperti ketentuan Pasal 11 UUP. Kedua, ada larangan disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan administrasi (Pasal 12 UUP), dan ada pula karena kemaslahatan [Pasal 6 (ayat 2) dan Pasal 7]. Perkawinan kategori pertama mutlak dibatalkan, sedangkan yang kedua dapat dibatalkan atau dapat pula diteruskan.[15]

KHI merupakan sumber hukum formil dan materil untuk Peradilan Agama. Artinya, hakim dalam mengadili dan menyelesaikan perkara berpedoman kepadanya. KHI sebagai hukum tidak tertulis walaupun pada dasarnya berkedudukan di bawah hukum tertulis, namun karena UUP itu sendiri menegaskan posisi sentral kepada hukum agama perihal sah atau tidaknya sutau perkawinan, maka oleh karena itu KHI tidak hanya mengisi kekosongan hukum belaka, melainkan memiliki kedudukan yang menentukan dan diutamakan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, bahwa batal adalah kebalikan dari sah. Perkawinan yang batal adalah perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat sahnya. Di Indonesia, seluruh rukun dan syarat tersebut terdapat dalam ijma ulama Indonesia yang telah naik menjadi hukum positif: Kompilasi Hukum Islam. Di samping itu, berlaku pula syarat-syarat tambahan dari peraturan perundang-undangan.[16]

Secara gamblang KHI mengatur mengenai hal tersebut di dalam Pasal 14-29. Khusus mengenai rukun nikah, KHI menyebutkannya secara rinci pada Pasal 14. Yahya Harahap menjelaskan bahwa maksud penyebutan secara enumeratif diantaranya ialah bertujuan untuk menghapuskan perbedaan pendapat (ikhtilaf).[17]

Berbeda dengan UUP, KHI mengkategori dan merinci batalnya perkawinan menjadi dua kategori. Pertama, perkawinan yang batal (Pasal 70 KHI). Kedua, perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71).  Bila menurut UUP, hal yang dapat menjadi sebab batalnya perkawinan berjumlah 11 (sebelas), maka menurut KHI berjumlah 13 (tiga belas). Terdapat titik persamaan dan perbedaan antara dua aturan tersebut[18]. Bila dikaji, ada 6 (enam) tambahan, penjabaran atau penjelasan dari KHI perihal penyebab batalnya perkawinan sebagaimana akan terlihat dari tabel berikut ini:

 

Perbandingan tentang hal-hal yang menyebabkan batalnya perkawinan

menurut UUP dan KHI

 

Dari tabel diatas terlihat adanya perbedaan tentang hal-hal yang menyebabkan dibatalkannya suatu perkawinan. KHI memberikan tambahan, penjabaran atau penjelasan mengenai:

Mengenai jumlah yang dapat dinikahi pun ditegaskan sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) KHI: “Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang”. Bila melanggar, maka implikasi hukumnya ialah bahwa perkawinan tersebut termasuk dalam kategori Kebatalan atau batal demi hukum.

Bab XI KHI tentang Batalnya Perkawinan pada Pasal 70 KHI huruf (a) menegaskan bahwa perkawinan batal apabila: a: “Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.”

KHI sebagai ejawantah syariat Islam di Indonesia mendasarkan aturannya pada al-Quran dan al-Hadits berikut tafsir dan syarahnya yang mu’tabar. Difahami melalui elaborasi ijtihad pada ahli hukum Islam dengan beristinbat, menggunakan metodologi mapan karya para ulama generasi salaf (generasi awal terbaik, terdahulu) dan khalaf (generasi pengikutnya, terkemudian).

 

D. DASAR SYARIAT PEMBATASAN POLIGAMI

Diantara jenis-jenis perkawinan yang diharamkan oleh Islam adalah poligami tanpa batas. [19]Abdul al-Fattah Kabbarah menukil penjelasan M. Salam Madkur dalam Ahkam al-Usrah, bahwa poligami tanpa batas telah dikenal dan tersebar khususnya di antara masyarakat yang telah ada sejak zaman dahulu. Fenomena tersebut dikenal di kalangan orang-orang Mesir, Persia, Asyur, Babilonia, para pendahulu di India, juga keturunan Rusia dan Jerman. Tidak ketinggalan pula raja-raja Yunani sebagaimana halnya telah dikenal oleh agama Yahudi dan Nasrani.[20]

Syariat poligami dan batasannya didasarkan pada al-Quran Surat al-Nisa [4] ayat (3) dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Allah Swt berfirman:

 

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Surat al-Nisa ayat 3 tersebut menetapkan hukum tentang jumlah yang halal dipoligami dan kapan wajib beristri satu saja.[21] Maksud “wa” dalam ayat tersebut bukan bermakna li al-jam’i (menjumlahkan) namun li al-takhyir (memilih).[22]

Al-Qurthubiy menyampaikan pendapat al-Dhahhak, Hasan dan lainnya bahwa ayat ini menasakh (menghapus) adat jahiliyyah, dimana laki-laki menikahi dengan jumlah sekehendak hati. Dengan ayat tersebut poligami dibatasi sampai empat.[23] Al-Qurthubiy juga mengetengahkan hadits yang meriwayatkan tentang perintah Rasulullah kepada Ghailan dan Harits bin Qais untuk menetapkan empat istri saja dan menceraikan sisanya. Tegasnya, poligami yang halal hanya sampai empat.[24]

Ibnu Katsir menghubungkan hadits-hadits tentang Qais dan Ghailan dengan Surat al-Nisa [4] ayat 4 dalam rangka menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. konsen dalam penegakkan batasan poligami tersebut sehingga tidak membiarkan adanya poligami yang melebihi empat karena taat dalam melaksanakan aturan Islam.[25]

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَن قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا

Dari Qois bin Al Harits, ia berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu tersebut.”[26]

Dalam hadits riwayat Ibnu Umar ra. Disebutkan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلاَنَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Ghaylan bin Salamah ats-Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya.[27]

Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan: أمسك أربعا وفارق سائرهن “Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.” (HR. Ibnu Hibban 9: 465).

Imam al-Syafiiy meriwayatkan dari Naufal ibn Muawiyyah, sesungguhnya dia masuk Islam sedangkan ia waktu itu lima istri, maka Nabi Saw berkata kepadanya:

أمسك أربعا وفارق ١ﻻﺨﺮﻯ

Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.

Muhammad Asyraf ibn Amir ibn Ali ibn Haidar Ash-Shiddieqie dalam Aun al-Ma’bud ‘ala Syarh Sunan Abi Daud, menjelaskan bahwa Ali al-Qariy dalam al-Mirqat menegaskan bahwa tampak dari hadits (riwayat Abu Daud) tersebut diatas bahwa sesungguhnya pernikahan-pernikahan semasa kekafiran adalah sah sampai masuk Islam, mereka tidak diperintahkan untuk memperbaharui pernikahan, kecuali mengenai hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh Islam seperti berpoligami lebih dari empat istri.[28]

Seorang laki-laki diharamkan berpoligami lebih dari empat orang. Sebab dari hadits Ghailan di atas, dapat disimpulkan bahwa kalaulah boleh berpoligami lebih dari empat, maka tentu Rasulullah Saw tidak akan memerintahkan Ghailan untuk melakukan hal tersebut.[29]Tegasnya, pernikahan kelima secara hakiki maupun hukmi tidak boleh, pernikahan tersebut fasid.[30]

 

E. Acara Pembatalan Perkawinan

Bagian ini akan selintas melihat bagaimana beracara untuk perkara pembatalan perkawinan. Khusunya mengenai kedudukan hukum sebagai pihak (persona standi in judicio atau legal standing) dan pedoman pokok lainnya.

Perkara pembatalan perkawinan selain tunduk pada aturan umum beracara, juga tunduk pada aturan khusus (lex specialis) yang terdapat dalam UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP).

UUP telah mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai beberapa hal. Pertama, mengenai waktu tunggu (iddah) [Pasal 11 ayat (2)]. Kedua, mengenai kedudukan anak luar perkawinan [Pasal 43 ayat (2)]. Ketiga, hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah [Pasal 67 ayat (2)].

Disebutkan pada Penjelasan Umum PP tersebut bahwa:

Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secera efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang dan sebagainya.

 

Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, tata cara poligami, berikut hukum acaranya. Di samping itu, PP ini pun mengatur kompetensi absolut.

Pasal 23 UUP sendiri memberikan kedudukan hukum (legal standing) berupa hak untuk mengajukan kebatalan atau pembatalan untuk mengajukan pembatalan perkawinan hanya kepada:

Kalau dirinci secara ringkas dan sederhana dalam PP tersebut diatur perihal:  kompetenasi relatif (Pasal 20), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf b UUP (Pasal 21), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf f UUP (Pasal 22), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf c UUP (Pasal 23), kebolehan pisah rumah atas alasan bahaya ketika ada perkara sekaligus penentuan nafkah dan pemeliharaan anak (Pasal 24), gugurnya perkara (Pasal 25), pemanggilan untuk tiap persidangan berikut acara pemanggilannya (Pasal 26-28), administrasi dan acara persidangan (Pasal 29), in person atau kuasa dalam siding (Pasal 30), perdamaian (Pasal 31), ne bis in idem (Pasal 32), pemeriksaan tertutup untuk umum (Pasal 33), acara sidang putusan terbuka untuk umum dan waktu mulai terjadinya perceraian (Pasal 34), berbagai kewajiban panitera pengadilan (Pasal 35-36). Sesuai petunjuk Pasal 38 ayat (3) PP, maka aturan dalam Pasal 20-36 PP diatas diberlakukan juga untuk perkara pembatalan perkawinan.

Di akhir kajian pada sub ini, akan dilihat tentang penyelesaian menurut hukum terhadap poligami lebih dari empat dihubungkan dengan dua asumsi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Atas asumsi bahwa perkawinan tersebut tercatat pada lembaga yang berwenang untuk itu, maka tiada jalan lain kecuali pihak-pihak yang memiliki standi in judicio mengajukan gugatan pembatalan perkawinan tersebut. Dengan petitum: “menyatakan perkawinan a quo batal demi hukum”. Walaupun termasuk kategori batal demi hukum, namun diperlukan langkah administratif untuk itu.[31]

Lain hal bila perkawinannya tidak tercatat. Bila tidak secara sadar berpisah atau melepaskan istri kelima dan seterusnya, maka hemat penulis adalah tepat bila negara menegakkan hukum agama, umpamanya dengan menggunakan instrumen hukum pidana.[32] Opsi perceraian adalah tidak mungkin karena ia hanya untuk perkawinan yang resmi (sah atau disahkan), demikian juga sebenarnya dengan lembaga pemisahan (pisah: farik) sebagaimana yang pernah terjadi zaman Rasulullah Saw., karena lembaga tersebut berkaitan dengan hukum antar tata hukum. Tata hukum bukan Islam ke Tata Hukum Islam. Hal tersebut tidak dimungkinkan bagi yang mengaku muslim ketika perkawinan itu dilangsungkan.

Terakhir, sebagai pembanding, menurut fikih murafaat (fikih acara peradilan Islam), untuk menyelesaikan perkawinan yang tidak sah terdapat dua alternatif. Pertama, membawa ke hakim dan diajukan gugatan, kedua memisahkannya.[33]

 

F. AKIBAT HUKUM KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Putusan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa ketika dirasakan adanya pelanggaran hak. Putusan mendudukkan dengan jelas hubungan dan kedudukan hukum antar para pihak yang bersengketa. Putusan memberikan kepastian tentang hak maupun hubungan hukum para pihak dengan objek yang disengketakan[34]. Putusan pada dasarnya berisi menerangkan suatu keadaan hukum (declaratoir), menetapkan suatu keadaan hukum baru (konstitutif), dan menghukum atau memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (comdemnatoir).[35]Keadaan hukum baru dimulai sejak putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).[36]

Putusan pada dasarnya berlaku kedepan (prospektif). Seperti putusan yang menyatakan seseorang sebagai anak angkat, menyatakan atau menetapkan sepasang suami istri bercerai, menyatakan pailitnya X, menyatakan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dll. Ketika putusan perceraian berkekuatan hukum tetap, sejak itulah berlaku putusan tersebut, suatu pasangan resmi bercerai[37]. Namun terdapat pengecualian untuk perkara-perkata tertentu seperti perkara permohonan pengesahan nikah dan perkara pembatalan. Yaitu keberlakuannya yang surut (retroaktif). Ketika dinyatakan sahnya perkawinan X dengan Y yang dilaksanakan pada tanggal, bulan, dan tahun tertentu, sahnya perkawinan tersebut dimulai sejak berkekuatan hukum, dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Demikian pula halnya dengan pembatalan perkawinan. Bedanya, kalau yang pertama menghubungkan ikatan secara hukum, sedangkan yang kedua memutuskan.

Batalnya suatu perkawinan bersifat retroaktif (berlaku surut). Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka keberlakuan putusan tersebut sejak saat perkawinan dilangsungkan. Baik itu dengan dengan alasan yang menyebabkan kebatalan (batal demi hukum) maupun pembatalan (dapat dibatalkan). Terkecuali untuk hal-hal yang dikhususkan.

Berdasarkan Pasal 28 UUP (1): “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.” Pasal 28 ayat (2)-nya menyatakan: “Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

Dengan redaksi yang sedikit berbeda, Pasal 74 ayat (2) KHI menyatakan: “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.”

Perihal pengecualian dari akibat hukum pembatalan, terdapat perbedaan antara UUP dengan KHI. Pasal 75 KHI menyebutkan bahwa: “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

Dalam tulisan ini, penulis hanya hendak mengkaji seputar berbagai pranata hukum Islam yang tidak tercakup oleh hukum positif seperti mahar, mahram, iddah dan waris dengan mengkaji dari literatur madzhab dalam fikih Islam.

Madzhab Imam Malikiy berpendapat bahwa jika fasidnya nikah karena hal-hal yang masih diperselisihkan, maka antara pasangan tersebut saling mewarisi. Sedangkan menurut madzhab Imam al-Syafi’iy, nikah batil maupun fasid hukumnya satu: tidak memiliki akibat hukum sebagaimana nikah yang sahih.[38]

Menurut madzhab Imam Hanafi, akibat hukum dari perkawinan yang fasid yakni tidak terpenuhinya syarat, seperti poligami lebih dari empat, akibat hukum tersebut hanya ada jika telah terjadi dukhul.[39]Akibat-akibat nikah fasid tersebut ialah[40]:

 

G. PENUTUP

Di penghujung tulisan ini, akan disimpulkan beberapa hal terkait identifikasi masalah. Pertama, dasar hukum pelarangan poligami lebih dari empat adalah UUP [Pasal 2 ayat (1), Pasal 9, Pasal 24] dan KHI [Pasal 55 ayat (1), 70 huruf a]. Kedua, penyelesaian secara hukum perdata terhadap poligami lebih dari empat ialah melalui gugatan pembatalan untuk menyatakan Kebatalan-nya. Ketiga, kebatalan poligami lebih dari empat mengakibatkan perkawinan dianggap tidak pernah ada beserta berbagai implikasi hukumnya kecuali untuk pihak-pihak sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Wallahu ‘alam bi al-shawab.

 

[1] Hakim Pengadilan Agama Talu

[2] http://kbbi.web.id/, diakses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content