Uncategorized

STATUS KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN ATAS PERKAWINAN PASANGAN YANG BELUM BERCERAI DI PENGADILAN

STATUS KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN ATAS PERKAWINAN PASANGAN YANG BELUM BERCERAI DI PENGADILAN

Oleh: Muhammad Hadiassalam

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan  membentuk  keluarga  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.(1)

Konstitusi Indonesia menjamin hak setiap orang untuk berkeluarga melalui perkawinan yang sah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama masing-masing dan wajib dicatatkan. Pencatatan ini memberikan perlindungan hukum bagi pasangan dan anak-anak mereka, serta memastikan hak-hak keperdataan keluarga. Untuk mendukung hal ini, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan guna melindungi dan mengakui status hukum atas peristiwa penting warga negara.(2) Mahkamah Konstitusi menegaskan pencatatan perkawinan sebagai wujud peran negara dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.(3)

Perkawinan adalah fondasi keluarga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mensyaratkan sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama dan pencatatan resmi.(4) Pencatatan bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada pasangan dan anak-anak, sekaligus memastikan hak-hak keperdataan keluarga. Namun, masih banyak masyarakat yang keliru menganggap pencatatan hanya formalitas administratif, cukup dengan memenuhi syarat agama. Kekeliruan ini meluas ke perceraian, di mana banyak pihak melakukannya hanya berdasarkan agama tanpa melalui pengadilan, seperti yang diwajibkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini menimbulkan masalah hukum baru, seperti status anak dan pernikahan ulang yang tidak sah menurut hukum negara. Aturan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang membedakan pengakuan anak berdasarkan sahnya perkawinan menurut agama atau negara,(5) memperkuat dikotomi hukum agama dan negara. Akibatnya, banyak yang melanggar ketentuan hukum karena kurangnya pencatatan dan pemahaman akan pentingnya integrasi hukum agama dengan hukum negara.

Perceraian yang tidak dilakukan melalui pengadilan menyebabkan perkawinan sebelumnya tetap dianggap sah secara hukum. Pengadilan memiliki peran penting dalam memastikan keadilan dan kepastian hukum atas status dan hubungan hukum subjek hukum. Oleh karena itu, perceraian di pengadilan menjadi syarat mutlak sebelum pasangan dapat mencatatkan perkawinan baru secara resmi.

(1) Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(2) Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(3) Ikhtisar Putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022 Tentang Keabsahan dan Pencatatan Perkawinan Beda Agama, hlm 3

(4) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(5) Pasal 49 ayat 2 Undang-undang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang – undang Nomor 24 tahun 2023, dinyatakan bahwa “Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapibelum sah menurut hukum negara.”; Pasal 50 ayat 2 Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agamadan hukum negara.”

Anak yang lahir sebelum perkawinan sah dan dicatatkan menghadapi problematika hukum. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan sah,(6) tanpa mempertimbangkan hubungan biologis. Suami memiliki hak untuk menyangkal sahnya anak dengan bukti perzinaan istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Perkawinan, namun gugatan ini harus diajukan dalam waktu dua bulan sejak kelahiran anak.

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah kompleksitas persoalan status anak. Putusan ini memperluas hak perdata anak dengan ayah biologis berdasarkan hubungan darah, meskipun anak tersebut lahir di luar perkawinan sah. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dalam menentukan status anak dalam konteks hukum keluarga, baik secara agama maupun hukum negara.

Permasalahan ini memunculkan kerancuan hukum yang perlu diselesaikan. Paper ini bertujuan untuk menganalisis status hukum anak yang dilahirkan sebelum perceraian di pengadilan serta bagaimana perlindungan terhadap status hukum anak tersebut. Dengan demikian, Paper ini berusaha memberikan solusi hukum untuk mengatasi ketidakpastian status anak dalam konteks hukum positif dan agama di Indonesia.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menemukan beberapa permasalaan sehingga terjadinya ketidakpastian status anak dalam konteks hukum positif dan agama di Indonesia. Oleh karena itu, mentee merumuskan masalah sebagaimana berikut :

  1. Bagaimana implikasi hukum perceraian yang tidak dilakukan di hadapan pengadilan agama terhadap status hukum perkawinan selanjutnya (kedua) dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut?

  2. Bagaimana solusi hukum untuk mengatasi kerancuan status anak dalam kasus perceraian yang tidak sah dan perkawinan tidak tercatat?

C. Pembahasan

1.  Implikasi  hukum  perceraian  yang  tidak  dilakukan  di  hadapan  pengadilan  agama terhadap status hukum perkawinan selanjutnya (kedua) dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

a.   Ketentuan  Perceraian  menurut  aturan  perkawinan  Indonesia  dan  Status  Hukum  atas Perceraian yang dilakukan tidak di pengadilan.

Sebelum kemerdekaan hingga Orde Baru, hukum perkawinan di Indonesia dipengaruhi pluralisme hukum akibat penggolongan penduduk oleh Belanda,(7)  yang menerapkan hukum Islam berdampingan dengan hukum adat. Hukum Islam kala itu merujuk pada fiqih munakahat, dengan putusan hakim yang berbeda-beda sehingga mengurangi kepastian hukum.(8)  Untuk membatasi hak talak agar tidak dilakukan semena-mena dan memperkuat kesetaraan hak suami- istri, pemerintah Indonesia memperbarui aturan perkawinan, termasuk mewajibkan perceraian melalui pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 18 PP Nomor 9 Tahun  1975, serta Kompilasi Hukum Islam, yang secara tegas mensyaratkan perceraian di depan Pengadilan. Artinya, secara tidak langsung dilakukan pembatasan terhadap hak Talaq.

Fiqih mengatur berbagai jenis talak, seperti talak langsung (munajaz) dan talak dengan kualifikasi (muallaq), namun pandangan ulama mengenai hal ini beragam. Dalam konteks negara hukum, sulit memberikan perlindungan hak-hak akibat perceraian berdasarkan praktik talak tersebut. Untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak warga negara, perceraian harus dilakukan di depan Pengadilan, sesuai kaidah fiqih yang mengutamakan maslahat dan meminimalkan mudarat.(9)

(6)  Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(7)  Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(8)  Hikmatullah, “Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,” AJUDIKASI Vol. 1 No. 2 (Desember 2017): 39-52. Hlm 40-43

(9)  TatamWijaya,”Macam-macam Talak Berdasarkan Waktu Jatuhnya,” NU Online, 7 September 2019, diakses 5 Januari 2025, https://nu.or.id/nikah-keluarga/macam-macam-talak-berdasarkan-waktu-jatuhnya- kl1Pu.

Meskipun Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak secara eksplisit menyatakan  talak  di  luar  pengadilan  tidak  sah,  ketentuan  hukum  yang  ada  menegaskan pentingnya perceraian melalui pengadilan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan  hak-hak  pihak  terkait.  Oleh  karena  itu,  perceraian  yang  dilakukan  di  luar pengadilan dianggap tidak sah dan tidak pernah ada menurut hukum.

b.   Implikasi Hukum atas Perceraian tidak di pengadilan

1. Status Hukum Perceraian

Dalam sistem hukum Indonesia, perceraian yang tidak disahkan melalui pengadilan agama akan menyebabkan perkawinan pertama dianggap masih sah dan berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mensyaratkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Keabsahan perceraian ini dibuktikan melalui akta cerai, yang merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pengadilan sebagai tanda bahwa perceraian telah selesai secara hukum.(10) keputusan perceraian dari pengadilan adalah dasar untuk memperoleh akta cerai sebagai bukti administrasi yang sah. Tanpa akta ini, status perceraian tidak diakui secara hukum dan status hukum kedua belah pihak tetap tercatat sebagai suami-istri dalam dokumen negara, termasuk Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk.

Meskipun salah satu pihak dapat menganggap perceraian telah terjadi berdasarkan ketentuan fiqih, pandangan ini tidak memiliki legitimasi dalam kerangka hukum positif. Akibatnya, hak dan kewajiban sebagai suami-istri, seperti kewajiban nafkah dan tanggung jawab terhadap anak, tetap melekat secara hukum meskipun mereka tidak lagi menjalani kehidupan rumah tangga bersama. Ketidaksesuaian ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi hukum, seperti sulitnya mengurus dokumen resmi, mengakses layanan pemerintah, atau bahkan masalah hukum ketika salah satu pihak ingin menikah lagi atau memisahkan kepemilikan aset keluarga.

Sebagai ilustrasi, dalam kasus hak waris atau pembagian aset, status yang masih tercatat sebagai pasangan suami-istri dapat memengaruhi pembagian harta bersama. Hal ini dapat menyebabkan perselisihan hukum antara pihak – pihak yang terlibat, termasuk ahli waris lainnya. Ketidaktahuan akan status hukum ini tidak hanya merugikan kedua belah pihak, tetapi juga dapat berdampak pada anak-anak dan pihak ketiga yang terlibat, seperti ahli waris atau pemegang hak atas aset keluarga. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses perceraian dilakukan melalui pengadilan agama, sehingga hak dan kewajiban yang melekat dapat diselesaikan secara adil dan sesuai hukum. Dengan demikian, konsekuensi hukum dari perceraian yang tidak sah menegaskan pentingnya prosedur hukum yang formal untuk memastikan kepastian hukum, melindungi hak semua pihak, dan mencegah potensi konflik di masa depan.

(10) Pasal 84 ayat 4 Undang-undang Nomor 8Ttahun 1989 Tentang Peradilan Agama

2. Status Pernikahan Kedua

Didalam Islam mengatur bahwa seseorang dilarang menikahi perempuan yang bersuami sebagaimana diatur didalam Al Quran surat An-Nisa ayat 24.  Namun disisi lain, Perempuan dibolehkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang sudah beristri sebagai mana ditercantum dalam Al-Qur’an Surat AN-Nisa ayat 3. Ketentuan ini merupakan hukum islam yang mengatur mengenai larangan poliandri dan kebolehan poligami. Kemudian ketentuan ini diakomodir dan diatur dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia.

Dalam Hukum Indonesia Perkawinan secara umum menganut asas monogami(11)  namun memberikan ruang untuk poligami secara terbatas. Pada prinsipnya seorang pria hanya boleh memiliki satu istri,(12) dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami dan seseorang suami yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal izin poligami.(13) Artinya ketika seseorang melakukan perkawinan kedua dimana pada ikatan perkawinan pertama belum bercerai di pengadilan atau mendapat izin poligami, maka hal tersebut merupakan pelanggaran atas asas monogami dan Pernikahan poligami tidak dapat perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan diatas.

Akta cerai sebagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pengadilan agama merupakan bukti sah bahwa perceraian telah terjadi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akta cerai  membuktikan  bahwa yang  bersangkutan  telah  berstatus  janda atau  duda  atau tidak memiliki ikatan perkawinan.(14)  Tanpa dokumen ini, pengajuan pendaftaran perkawinan baru, perubahan status sipil, dan pengurusan hak-hak hukum lainnya tidak dapat dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa akta cerai bukan hanya sekadar dokumen formal, tetapi juga instrumen penting untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak pihak yang bersangkutan.

(11) Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(12) Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(13) Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(14) Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan

Disisi lain, adanya pengecualian terhadap asas monogami dalam Pengaturan Perkawinan di Indonesia jika mendapat izin dari pengadilan. Menurut SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Kamar Agama Tahun 2019 angka 1 huruf f, Perkawinan lebih dari 1 yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan beritikad baik, tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak-hak kebendaan antara suami istri.(15) Kemudian pernikahan yang lebih dari 1 akan tanpa izin dinyatakan tidak dapat diterima meski dimohonkan pengesahan ke pengadilan meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perlindungan hukum jika pernikahan poligami dilaksanakan tanpa izin pengadilan.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pernikahan kedua tanpa perceraian di depan pengadilan secara hukum dinyatakan tidak sah karena melanggar asas monogami dalam Undang-undang perkawinan dan masih dianggap terikat dengan pasangan perkawinan sebelumnya.

c.    Implikasi Hukum atas Perceraian tidak di pengadilan terhadap Status Anak

Status hukum anak yang lahir dari perkawinan kedua yang secara hukum tidak sah akibat belum bercerai di depan pengadilan atau belum mendapat izin poligami juga dapat dipertanyakan. Dalam sistem hukum Indonesia, legitimasi anak bergantung pada keabsahan perkawinan orang tuanya. Jika perkawinan dianggap tidak sah, anak yang dilahirkan berpotensi kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak waris dan status administrasi kependudukan.

Setiap anak  berhak mengetahui orang tuanya dan dibesarkan oleh mereka.(16)  Undang- undang perkawinan dan KHI memberikan kedudukan terhadap anak yang dilahirkan di Indonesia dalam bentuk anak sah dan anak luar perkawinan. anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dan Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.(17)Disisi lain aturan diatas memberikan ruang bagi seseorang untuk mengingkari anak yang lahir dalam perkawinannya ke pengadilan yang berimplikasi pada kedudukan anak. Namun, apabila gugatan diajukan ke pengadilan melewati batas waktu tersebut, maka pengadilan tidak akan menerima perkara tersebut.

(15) Mahkamah Agung Republik Indonesia, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, diakses 3 Januari 2025, https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sema-nomor-7- tahun-2012/detail.

(16) Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(17) Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dari pengaturan diatas dapat dilihat bahwa kedudukan anak menjadi anak sah ketika dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Berdasarkan penafsiran gramatikal memberikan gambaran bahwa sepanjang anak tersebut lahir dari seorang istri maka anak memiliki kedudukan sebagai anak. Pengaturan tersebut tidak melihat apakah ayah memiliki hubungan darah dengan anak. Namun meskipun demikian, Peraturan Perundang-undangan memberikan ruang bagi seorang suami untuk mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya yang tidak memiliki hubungan darah dengan dirinya melalui pembuktian di Pengadilan.(18) Namun jika suami tersebut tidak mengajukan penyangkalan dan pengingkaran terhadap anak lahir dari istrinya yang tidak memiliki hubungan darah secara defakto maka secara de yure anak tersebut merupakan anak sah dari perkawinan mereka.

(18) Pasal 44 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Berkaitan dengan topik status hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dalam konteks perceraian yang belum sah menurut hukum positif. Dari paparan diatas sudah dijelaskan bahwa secara deyure bahwa perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan dianggap tidak berlaku sehingga pasangan tersebut masih terikat perkawinan. Artinya, meskipun kedua atau salah satu pasangan tersebut memandang telah bercerai, pasangan tersebut tidak dapat menikah lagi karena terhalang larangan menikah. Seandainya, salah satu pasangan tersebut melakukan perkawinan di bawah tangan atau tidak tercatat dengan orang lain maka pernikahan tersebut tidak dapat disahkan secara hukum karena bertentangan dengan ketentuan hukum. Meskipun demikian perkawinan dibawah tangan antara pasangan yang masih terikat perkawinan secara defacto masih terjadi dimasyarakat hingga memperoleh Anak. Anak tersebut meskipun secara defacto merupakan anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan, secara de yure anak tersebut merupakan anak dari perkawinan sebelumnya yang sah. Sebab untuk pengurusan akta kelahiran anak tersebut mensyaratkan kutipan akta nikah (sebagai satu-satunya pembuktian hubungan nikah) untuk menentukan status kelahiran anak. Kutipan akta nikah yang dimaksud bukan merupakan kutipan akta nikah yang terbit setelah anak lahir. Dengan demikian, Anak yang dilahirkan oleh istri dari perkawinan sah merupakan anak sah dari perkawinan tersebut sepanjang suami tidak mengajukan pengingkaran atau penyangkalan anak meskipun kedua atau salah satu pasangan tersebut memandang telah bercerai dan menikah dengan orang lain secara agama.

Disisi lain, Putusan MK memberikan penafsiran bahwa kedudukan seorang anak untuk mendapat hubungan perdata dengan ayahnya yang memiliki hubungan dapat ditentukan berdasarkan pembuktian ilmu pengetahuan dan alat bukti yang sah terkait hubungan darah. Ketentuan tersebut jika dikaitkkan dengan status hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dalam konteks perceraian yang belum sah menurut hukum positif, maka dapat dilihat bahwa anak tersebut yang lahir dari perkawinan yang tidak sah antara orang tuanya yang masih terikat perkawinan sebelumnya yang sah, dapat memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya yang memiliki hubungan darah sepanjang dapat dibuktikan di Pengadilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan anak dapat diajukan oleh orang yang berkepentingan dengan hubungan hukum antara anak dengan ayahnya yang memiliki hubungan darah.(19) Dari Paparan diatas dapat ditarik kesimpulan status hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dalam konteks perceraian yang belum sah menurut hukum positif secara de jure mengikut pada perkawinan yang sah. Meskipun demikian terdapat mekanisme melalui pengadilan untuk menentukan kebenaran materil terhadap kedudukan anak.

2.  Solusi hukum untuk mengatasi kerancuan status anak dalam kasus perceraian yang tidak sah dan perkawinan tidak tercatat

Negara Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan. Untuk memberikan kepastian terhadap pengakuan status hukum maka dilakukan pencatatan oleh Pemerintah. Di Indonesia, pencatatan kelahiran merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh penduduk.(20) Pencatatan kelahiran anak warga negara Indonesia (WNI) harus memenuhi beberapa persyaratan seperti surat keterangan kelahiran, dokumen nikah atau akta perkawinan, Kartu Keluarga (KK), dan KTP elektronik.(21)

Sistem hukum Indonesia untuk memastikan hak setiap anak untuk diakui, meskipun tanpa bergantung status hukum kedua orang tuanya.(22) pencatatan kelahiran ketika dokumen pernikahan atau bukti hubungan suami istri tidak tersedia, status anak dicatat berdasarkan hubungan dengan ibunya saja. Namun, jika status dalam KK menunjukkan adanya hubungan suami istri, anak dicatat sebagai anak ayah dan ibu dengan catatan bahwa pernikahan belum tercatat secara resmi.(23)

(19) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ikhtisar Putusan Perkara Nomor 46/PUUVIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin, diakses 4 Januari 2025, https://www.mkri.id/public/content/persidangan/sinopsis/ikhtisar_561_1440_Ikhtisar%2046-PUU-VIII-2010_Zaka%20(4).pdf.

(20) Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(21) Pasal 33 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

(22) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 46/PUUVIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin, hlm. 35 diakses 4 Januari 2025, https://bphn.go.id/data/documents/putusan_46-puu-viii-2010_(perkawinan).pdf

(23) Pasal 48 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Pencatatan Kelahiran dalam administrasi kependudukan terbagi atas beberapa klasifikasi pertama Kutipan akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Klasifikasi kedua, Kutipan Akta kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan tetapi status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga menunjukka hubungan Perkawinan sebagai suami isteri. Klasifikasi ini menambahkan frasa perkawinannya belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan dalam kutipan akta kelahiran. Klasifikasi ketiga, kutipan Akta Kelahiran anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan tetapi status hubungan dalam keluarga pada KK tidak menunjukkan hubungan perkawinan sebagai suami isteri. Pada kutipan ini hanya mencantumkan nama ibu kandung.(24) Pencatatan  kelahiran  sangat  penting  dilakukan  karena  hal  ini berimpilkasi  terhadap hubungan hukum seorang anak dengan orang tuanya. Dalam Hukum Islam hubungan darah dikenal dengan nasab.(25)  Nasab adalah ikatan yang menghubungkan seorang anak dengan ayahnya. Penentuan nasab dapat didasarkan pada 3 cara, melalui pernikahan yang sah, melalui Pengakuan, dan melalui Pembuktian. Jika seorang anak lahir  dari sebab kehamilan sebelum adanya perkawinan yang sah atau atas hasil sebuah hubungan yang syubhat berakibat kehamilan maka nasab anak itu dikaitkan dengan ayahnya melalui pengakuan. Disisi lain, jika seorang anak lahir setelah lewat 6 bulan usia perkawinan maka anak secara otomatis dikaitkan nasabnya kepada ayahnya dari perkawinan tersebut sepanjang ayah tidak menolak hubungan nasab tersebut ketika lahir atau tidak menuduh istrinya berbuat zina  (li’an).(26)  Menurut mazhab hambali  dan  syafi’i,  nasab  anak  dapat  dikaitkan  dengan  ayahnya  bila  ia  terlahir  setelah perpisahannya sepanjang ibu masih dalam iddah dan tidak ada hubungan intim lain setelah hubungannya dengan suaminya itu.(27) Artinya jika istri berhubungan intim dengan sepeninggalan suami atau dalam masa iddah dengan selain suaminya maka anak harus dinyatakan tidak dapat dinasabkan kepada suami yang telah berpisah. Penentuan nasab melalui Pengakuan dan pembuktian pada dasarnya mensyaratkan pada syarat kesaksian yang logis dan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan.(28)

(24) Ibid.

(25) Muhammad Taufiki, “Konsep Nasab, Istilhāq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah,” Ahkam Vol. XII, No. 2, Juli 2012, hlm. 60, https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30919/1/Muhammad%20Taufiki.pdf, diakses 2 Januari 2025.

(26) Ibid, hlm. 61.

(27) Ibid,.

(28) Ibid, hlm. 61-62.

Dalam Undang-undang Administrasi kependudukan termasuk peraturan pelaksanaanya, dalam kaitannya dengan status anak diakomodir ruang untuk Pengesahan dan Pengakuan Anak. Pengesahan Anak adalah proses pengesahan status anak yang lahir dari perkawinan sah menurut agama tetapi belum tercatat di negara. Syarat utama meliputi akta kelahiran, akta perkawinan yang disahkan melalui Isbat Nikah, serta Kartu Keluarga dan KTP orang tua. Proses pencatatan dilakukan di register akta pengesahan anak, dan anak yang sah melalui pengesahan ini memiliki hak yang sama seperti anak yang lahir dari perkawinan sah menurut hukum negara. Sedangkan, Pengakuan Anak adalah pengakuan seorang ayah terhadap anak yang lahir di luar perkawinan sah, dengan persetujuan ibu kandung. Proses ini melibatkan surat pengakuan anak dari ayah yang disetujui ibu, serta dokumen seperti akta kelahiran, KK, dan KTP. Pengakuan ini memerlukan penetapan pengadilan dan memberikan hak hukum terkait hubungan dengan ayah biologis.(29) solusi hukum untuk mengatasi kerancuan status anak dalam kasus perceraian yang tidak sah dan perkawinan tidak tercatat. Pertama dilakukan pengurusan perceraian di pengadilan agar masing-masing pasangan secara hukum telah terputus ikatan perkawinan. Kemudian, pasangan tersebut melakukan pernikahan didepan pencatat pernikahan agar Perkawinannya diterbitkan Akta Nikah agar dapat dilindungi hukum. Kemudian terhadap anak yang lahir sebelum dilakukan perkawinan yang sah diajukan perkara Pengakuan anak atau pengesahan anak ke pengadilan secara kontensius dengan menjadikan pasangan sebelumnya menjadi Pihak atau Tergugat dalam perkara.(30) Sebab meskipun anak tersebut secara de facto dilahirkan dari perkawinan kedua yang belum sah, Anak tersebut lahir ketika salah satu pasangan masih terikat hubungan hukum dalam ikatan perkawinan sebelumnya, sehingga pasangan dalam ikatan perkawinan pertama harus dihubungkan dalam berperkara.

(29) Pasal 49 dan Pasal 50 berikut Penjelasan Pasal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(30) Muhamad Tambusai Ad Dauly, Untaian Logika & Penalaran Hukum: Status Anak dalam Talak dan Perkawinan di Bawah Tangan (Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, Itsbat Nikah, dan Penetapan Asal– Usul Anak), Pengadilan Agama Talu, hlm. 34-35 diakses 5 Januari 2025, https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/untaianlogikapenalaran-hukum-statusanak-dalamtalak-danperkawinandibawahtanganolehmuhamadtambusaiaddauly1411.

Para Pihak yang mengajukan pengakuan anak harus mendalilkan peristiwa perkawinan yang terhalang, tanggal peristiwa kelahiran, kemudian perceraian di pengadilan serta tanggal peristiwa perkawinan sah tercatat para pihak. Kemudian memuat petitum untuk menetapkan anak adalah bukan anak sah dari tergugat/termohon dan menetapkan anak bernama anak sah/biologis dari para pemohon. Dalam pengajuan perkara secara kontentius merupakan konsekuensi dari ketentuan anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah atau akibat yang sah. Keabsahan tersebut dapat dibatalkan dengan mekanisme penyangkalan/pengingkaran anak. Karena mekanisme penyangkalan anak tersebut tidak dijalankan padahal secara defacto anak tersebut tidak memiliki hubungan darah dengan seorang suami/ayah, maka pengakuan atas anak tersebut oleh ayah biologisnya harus dilaksanakan secara kontensius dengan menjadikan suami perkawinan pertama sebagai pihak.

Pada praktek saat ini di Pengadilan Agama, setiap perkara diajukan sebagai perkara permohonan penetapan asal usul anak yang petitumnya meminta pengesahan terhadap anak. Namun dalam kasus diatas, Jika perkara diajukan secara volunter dan  petitumnya hanya meminta untuk menetapkan seorang anak adalah anak/anak sah dari pemohon 1 dan pemohon 2 maka akan terjadi dua hubungan keperdataan nasab.(31)

(31) Ibid,.

Dari Pemaparan diatas, penulis berpendapat bahwa anak dari perkawinan seseorang dengan istri yang bersuami (terikat perkawinan) tidak dapat menjadi anak sah dari ayah biologisnya. Sebab, perkawinannya secara langsung bertentangan dengan dalil nash Al Quran surat AN-Nisa ayat 24, sehingga anaknya hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya yang memiliki hubungan darah (biologis) sebatas Hak untuk penghidupan (nafkah) dan tidak memiliki nasab sebagaimana diatur dalam Putusan MK. Tidak dapat dimungkinkan jika anak tersebut disahkan menjadi anak sah atas dengan dasar demi kepentingan anak sehingga dapat dinasabkan kepada ayahnya meski pernikahan fasid. Sebab hal itu bertentang dengan prinsip hukum islam untuk menjaga agama serta seharusnya dipahami juga bahwa kaidah untuk menjaga nasab itu ialah dilakukan dengan memurnikan nasab dari perkawinan yang sah, sehingga tidak tepat menjaga nasab dengan abkan anak pada ayahnya atas dasar pernikahan fasid. Penulis juga berpendapat seandainya anak lahir dari perkawinan fasid ayahnya dimana ayahnya masih terikat perkawinan dengan wanita lain bahwa secara dalil nash membolehkan seorang suami untuk beristri lebih dari satu sehingga anaknya tersebut jelas \bisa bernasab kepada ayahnya. Namun menurut hukum postif indonesia bahwa beristri lebih dari satu hanya diperbolehkan bila ada izin dari pengadilan. Dengan demikian penulis berpendapat anak yang lahir dari perkawinan poligami tanpa izin pengadilan diserahkan kepada majelis hakim untuk menentukan apakah anak tersebut dapat dinasabkan atau disahkan kepada ayahnya.

D. Penutup

1. Kesimpulan

  1. Implikasi hukum perceraian yang tidak lakukan dihadapan pengadilan secara hukum tidak sah dan dianggap tidak ada. Konsekuensinya pasangan masih terikat perkawinan. Ketika anak lahir dari pasangan tersebut maka kedudukannya secara hukum sebagai anak sah dari perkawinan pasangan tadi meski secara defacto tidak memiliki hubungan darah dengan ayahnya sepanjang tidak diajukan pengingkaran/penyangkalan anak atau pengakuan anak melalui pembuktian hubungan darah di pengadilan

  2. Solusi hukum untuk mengatasi kerancuan status anak dalam kasus perceraian yang tidak sah dan perkawinan tidak tercatat adalah dengan mengajukan perkara pengakuan anak yang diajukan secara kontensius dimana mendudukkan pasangan dari pernikahan sebelumnya sebagai pihak tergugat dalam perkara ini. Pengajuan tersebut dengan mencantumkan petitum untuk menetapkan bahwa anak adalah bukan  anak sah dari pernikahan pertama sebab dapat dibuktikan bahwa anak tersebut bukan hasil hubungan biologis dari pasangan pernikahan pertama.

2. Saran

Bahwa hendaknya badan peradilan agama perlu menetapkan hukum materil yang mengkonkritkan perbedaan atas perkara pengesahan anak dengan Pengakuan anak.

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

  • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

  • Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

  • Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

  • Peraturan  Menteri Dalam  Negeri  Nomor  108  Tahun  2019  tentang  Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

  • Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi

  1. Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  Ikhtisar  Putusan  Perkara  Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin, https://www.mkri.id/public/content/persidangan/sinopsis/ikhtisar_561_1440_Ikhtisa r%2046-PUU-VIII-2010_Zaka%20(4).pdf.
  2. Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  Putusan  Perkara  Nomor  46/PUU- VIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin, https://bphn.go.id/data/documents/putusan_46-puu-viii-2010_(perkawinan).pdf.

  3. Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  Ikhtisar  Putusan  Nomor  24/PUU- XX/2022 tentang Keabsahan dan Pencatatan Perkawinan Beda Agama.

C. Buku dan Artikel Ilmiah

  1. Hikmatullah, “Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,” AJUDIKASI Vol. 1, No. 2 (Desember 2017).
  2. Muhammad Taufiki, “Konsep Nasab, Istilhāq, dan Hak Perdata Anak Luar Nikah,” Ahkam Vol. XII, No. 2, Juli 2012, https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30919/1/Muhammad%20Taufiki.pdf.

  3. Muhamad Tambusai Ad Dauly, Untaian Logika & Penalaran Hukum: Status Anak dalam Talak dan Perkawinan di Bawah Tangan (Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, Itsbat Nikah, dan Penetapan AsalUsul Anak), Pengadilan Agama Talu, https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/untaian-logika- penalaran-hukum-status-anak-dalam-talak-dan-perkawinan-di-bawah-tangan-oleh- muhamad-tambusai-ad-dauly-14-11.

D.  Artikel Online

  1. M. TatamWijaya, “Macam-macam  Talak Berdasarkan  Waktu  Jatuhnya,”  NU Online, https://nu.oid/nikah-keluarga/macam-macam-talak-berdasarkan-waktu- jatuhnya-kl1Pu.

 

SILAHKAN BACA ARTIKEL SELENGKAPNYA DI BAWAH INI

Website Resmi Pengadilan Agama Talu